REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada 12 Februari 2020 lalu Kementerian ATR/BPN dan POLRI mengumumkan telah menangkap mafia tanah yang beraksi di bilangan Jakarta Selatan. Terhadap perbuatannya, komplotan ini dijerat Pasal 263 dan 264 KUHP tentang pembuatan surat palsu, selain itu mereka juga terancam 20 tahun penjara karena terjerat Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Upaya penindakan kejahatan luar biasa ini akan terus dilakukan bersamaan dengan upaya pencegahannya. Salah satu upaya pencegahan tindak mafia tanah adalah dengan digitalisasi pertanahan.
"Dengan sistem digital akan meminimalisir praktik-praktik yang terjadi sekarang, karena ini akan merubah pola kerja Kementerian ATR/BPN. Demikian juga pihak-pihak yang kita beri kewenangan seperti surveyor berlisensi dan PPAT, kita sudah coba dengan Hak Tanggungan Elektronik. Jadi polanya tidak perlu datang ke kantor, tidak perlu sertipikat diserahkan dulu ke seseorang kemudian dibawa ke kantor pertanahan," ujar Direktur Jenderal Hubungan Hukum Pertanahan Suyus Windayana ketika menjadi narasumber pada acara Lunch Talk BeritaSatuTV, di Bilangan Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (18/2).
Modus dari mafia tanah yang pada waktu lalu tertangkap salah satunya adalah menggunakan KTP dan surat-surat palsu. "Dengan sistem digitalisasi proses autentifikasi akan sangat diperhatikan. Bagaimana memastikan bahwa sertipikat itu betul-betul milik saya. Misalkan di dalam sistem sudah ada e-KTP, nomor sertipikat, tinggal ditambahkan sidik jari, itu merupakan satu kesatuan. Kita akan gunakan teknologi terbaru agar lebih secure ," tutur mantan Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanahan dan LP2B ini.
Selain surat palsu, komplotan mafia tanah ini juga menggunakan PPAT palsu. Untuk itu Suyus Windayana mengimbau masyarakat sebelum melakukan transaksi jual beli tanah untuk melakukan crosscheck terlebih dahulu. "Kalau ingin transaksi jual beli aman, masyarakat bisa cek PPAT resmi di website Kementerian ATR/BPN. Di situ terlampirkan foto, alamat, surat keputusan PPAT," papar Suyus Windayana.
"Permasalahan pertanahan yang dihadapi itu kebanyakan terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertipikat. Kita fokuskan sertipikasi dengan cepat, dan percepatan ini kita simpan datanya ke dalam sistem digital. Kita juga sedang transformasi 46 juta bidang yang dulu, sedang kita pindahkan ke dalam sistem digital. Masih ada 17 juta sertipikat yang saat ini dalam proses digitalisasi," paparnya ketika menjelaskan kemajuan digitalisasi yang sedang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN.
Dalam kesempatan ini, Suyus Windayana juga menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk menjaga tanahnya agar terhindar dari mafia tanah. "Masalahnya di lapangan tidak dikuasai oleh masyarakat, datang surat kemudian kita sertipikatkan, tiba-tiba ada orang lagi mengaku, masyarakat juga harus menguasai dan menjaga batas-batas tanahnya itu," ujarnya.