REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Anak-anak yang menghisap asap rokok (perokok pasif) bisa menyebabkan learning disability. Artinya, kemampuan anak-anak untuk menyerap pelajaran dan ilmu pengetahuan menjadi kurang. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Kartono Muhammad mengatakan hal ini yang sering tidak disadari masyarakat.
"Kualitas otak atau intelektualitas anak tidak optimal dan tidak seperti yang diharapkan," katanya dalam workshop "Investigasi Fakta di Balik Mitos Industri Tembakau" di Hotel Santika pada Sabtu, (3/7).
Acara workshop ini digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selama dua hari yang melibatkan sejumlah wartawan media cetak dan elektronik.
Bahaya rokok pasif pun tidak datang dari kepulan asap. Celakanya, lanjut Kartono, asap rokok yang menempel di ruangan atau benda pun ikut berperan. Sebab, asap rokok itu akan bertahan selama tiga tahun di sana. Jadi, anak-anak pun tetap menjadi perorok pasif meski berada di ruangan yang disterilkan dari asap rokok secara temporal.
''Ini diperparah dengan tingkat konsumsi rokok masyarakat Indonesia yang tinggi. "Dua dari tiga laki-laki Indonesia merokok," katanya.
Kartono juga memperkirakan 60 persen laki-laki di Indonesia adalah perokok aktif. Ia juga mengatakan bahwa rokok termasuk barang konsumsi terbesar orang miskin di Indonesia. "Orang miskin Indonesia mengalokasikan dananya untuk beras, rokok, pulsa, makanan, dan pendidikan," ujarnya.
Amat disayangkan, kata Kartono, jika uang masyarakat Indonesia lebih dialokasikan untuk membeli rokok dibandingkan memperbaiki gizi anak dan keluarganya. "Untuk kesehatan, pendidikan, atau membeli makan, mereka bilang tak punya uang, tapi untuk rokok, uang selalu ada," sesalnya.
Belum lagi pendekatan pemerintah yang dianggapnya keliru terutama terhadap pengaturan rokok. Ia mencontohkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT). "Kebijakan ini justru sering dialokasikan orang miskin untuk rokok," katanya.
Ini menunjukkan tidak ada pembinaan untuk bahan baku berupa sumber daya manusia untuk perbaikan kualitas masyarakat Indonesia. Meskipun pendidikan dianggap bisa menjadi jalan untuk meningkatkan tingkat intelektualitas seseorang, namun Kartono beranggapan hal tersebut hanya salah satu aspek saja. "Aspek input, yaitu anak-anak pun punya peranan terhadap tingkat kualitas SDM di masa depan," katanya.