Rabu 03 Nov 2010 22:14 WIB

Menakar Keamanan Makanan, Ini Lho Caranya

Rep: Reiny Dwinanda/ Red: irf

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anda suka kerupuk berwarna oranye yang menjadi pelengkap ketoprak, gado-gado, atau nasi goreng di kaki lima? Rasanya memang gurih di lidah. Namun, amankah untuk dikonsumsi?

Warna oranye menyala pada kerupuk tersebut berasal bukan dari pewarna makanan. Pabrik kerupuk meneteskan pewarna tekstil untuk mendapatkan warna yang menarik macam itu. "Tentunya, ini berbahaya bagi kesehatan," kata ahli kesehatan, Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi MSc.

Kerupuk itu ha nyalah satu contoh makanan yang memakai bahan tambahan berbahaya dalam pembuatannya. Kendati dapat terlihat de ngan kasat mata, upaya penghentian penggunaannya belum serius benar dilakukan pemerintah. "Semestinya ada upaya pembinaan industri agar mulai beralih ke bahan pewarna makanan," ujar Purwiyatno seusai konferensi pers Pusat Informasi Industri Makanan dan Minuman, beberapa waktu lalu (18/10) di Jakarta.

Ironisnya, makanan dengan bahan tambahan berbahaya justru semakin mengepung masyarakat. Terutama mereka yang sering makan di luar rumah. "Pe makaian boraks dan for malin pada bakso dan tahu, contohnya," kata direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Center ini.

Yang praktis Mengenali bakso berbahan pengawet berbahaya ternyata mudah saja. Mari cermati sifat bakso yang menggunakan daging sapi sebagai bahan bakunya. "Agar tahan lama, bakso semestinya dimasukkan ke dalam lemari pendingin," urai Purwiyatno.

Bakso bisa cepat rusak dalam suhu luar ruang. Apalagi, terpapar sinar matahari. "Pembuat bakso tentu tidak mungkin membawa lemari pendingin di gerobaknya," celetuk peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini. Baik boraks maupun formalin sebetulnya tidak termasuk bahan tambahan pangan. Tentu pengaruhnya bagi kesehatan yang menjadi pertimbangan. "Terhadap tubuh, keduanya bersifat karsinogen, pencetus kanker," kata Purwiyatno.

Di Amerika Serikat, boraks dan formalin sudah dilarang pemakaiannya pada bahan pangan pada awal tahun 1900. Namun, di Indonesia baru sekitar 80 tahun kemudian dinyatakan sebagai bahan berbahaya. "Juga termasuk bahan berbahaya, dulsin serta asam salisilat dan garamnya," timpal Deputi III Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Roy Sparingga.

Bahan tambahan pangan diperbolehkan dipakai jika sudah dikaji keamanannya oleh organisasi internasional Joint Experts Committee on Food Additives. Bahan tersebut diuji coba pada hewan dan ditentukan berapa batas aman konsumsi hariannya (ADI). "Lalu, diadakan pengawasan pascaproduksi untuk melihat reaksinya pada manusia," urai Purwiyatno.

Ketersediaan bahan tambahan pangan membawa keuntungan tersendiri bagi masyarakat. Terlebih, belakangan masyarakat yang tak punya banyak waktu untuk mengolah bahan makanan. "Produk pangan yang praktis lebih disukai," ucap Purwiyatno.

Namun, konsumen perlu selalu berusaha mengembangkan perilaku hidup sehat. Termasuk perilaku makan sehat dengan menu pangan yang sehat. "Sebaiknya konsumsilah aneka ragam jenis pangan dan jangan berlebihlebihan terhadap salah satu jenis produk pangan," saran Purwiyatno yang bertugas di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB.

Di luar persoalan bahan tambahan pangan, Purwiyatno mengingatkan perlunya kewaspadaan warga. Terlebih, kasus yang terkait bahan tambahan pangan terbilang lebih kecil. "Masalah yang ditimbulkan dari kebersihan jauh lebih rumit."

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement