REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Pemerintah memberikan pepesan kosong kepada masyarakat soal janji mengumumkan merek susu formula tercemar Enterobacter sakazakii. Sampai hari yang dijanjikan, Rabu (23/2), Menteri Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) tetap bungkam.
Malah, pemerintah akan melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) kasasi MA. Berikut wawancara dengan Ketua Komisi Informasi Pusat, Ahmad Alamsyah Saragih, menyikapi kekeraskepalaan pemerintah:
Seberapa besar hak masyarakat mengetahui merek susu tercemar bakteri?
Masyarakat dalam mengonsumsi sesuatu dijamin keamanannya oleh negara. Negara punya lembaga publik -- kementerian, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), atau lembaga riset. Hasil penelitan IPB berdampak luas. Kalau ada kepentingan publik lebih luas, negara harus mengumumkannya. Jangan menunda-nunda karena alasan pasar atau etika penelitian.
Bagaimana Anda melihat kontroversi merek susu yang tercemar bakteri sakazakii versi penelitian IPB?
Saya melihat ada perbedaan pandangan sampai dipanggil ke DPR. Dekan Fakultas Peternakan IPB mengaku belum mendapatkan salinan putusan. Kalau sudah menerima, baru akan dibuka. Mereka sadar ini harus dibuka, karena itu proses hukum.
Tapi pemerintah malah mengajukan PK ke MA ketimbang mematuhi putusan kasasi untuk membuka kepada publik merek-merek susu formula bermasalah?
Pertama, problemnya tidak jelas, kenapa mereka harus PK. Ini ego institusi yang jauh dari substansi dan preseden demokrasi yang buruk. Akhirnya semua masalah selalu di-PK.
PK itu jangan dibikin terlalu murah. Apa-apa di-PK. Ini sih ketidakmampuan berdemokrasi. Ingin selalu menang, tidak siap kalah, kecuali terpaksa, sampai harus disita.
Itu contoh buruk sekali. Kasihlah contoh yang baik ke masyarakat. Kalau dibuka, masyarakat lebih santai kok melihatnya, daripada sekarang tidak jelas.
Kedua, mungkin saya tidak tahu pihak yang memberikan advise pada badan publik itu siapa, tapi mereka harus wise (bijak) juga. Perlu diingat, hakim itu punya pertimbangan hukum saat memutuskan, berikut juga putusan pengadilan tingkat banding, karena putusan MA itu hanya memperkuat atau membatalkan saja.
Pengadilan itu kan muara kita berdemokrasi kalau kita mengakui negara hukum. Elite lembaga publik ini harus sadar. Maka, harusnya patuhlah terhadap putusan (kasasi) MA.
Hakim saat sidang juga sudah mengundang para pihak. Jadi kalau dasarnya kepentingan publik yang lebih luas, dibuka saja. Lalu beri kesempatan produsen untuk berbicara.
Langkah PK itu patut disesalkan?
Secara hukum, PK itu silahkan saja. Itu hak semua orang. Tapi jangan terlalu gampang melakukan PK. Ini sudah ego, bukan kepentingan publik lagi. Sebaiknya semua yang egonya tinggi ini dievaluasi, direfleksi. Sebab, kalau sudah begini, citra pemerintah makin hancur.
Kepercayaan publik harus lebih diperhatikan. Semakin lama orang merasa tidak nyaman mengonsumsi susu. Maka, hasil penelitian itu harus cepat dibuka. Begitu juga dengan hasil penilitian berikutnya. Kalau ada penelitaian ulang, di-publish.
Publikasi merek susu itu tetap harus dilakukan meski ada langkah PK?
Karena ada kepentingan publik yang lebih luas, harusnya dibuka, meskipun mereka PK. Kalau semakin lama ini akan semakin berlarut.
Lalu dari sisi produsen, jangan-jangan mereka lebih senang ini dibuka sehingga lebih pasti. Terus mereka bisa kampanye kalau produknya sudah tidak mengandung bakteri.
Upaya apa yang dilakukan Komisi Informasi?
Berdasarkan undang-undang (UU), Komisi Informasi itu tidak boleh proaktif. Kita menyelesaikan sengketa kalau ada aduan. Kita tidak bisa mengingatkan atau memberikan saran. Kecuali orang datang berkonsultasi, kita bisa memberikan pertimbangan. Itu juga sebatas konsultasi, bukan putusan.
Sekarang sebetulnya saya lebih berpandangan sebagai warga negara, agar informasi ini (tentang merek susu formula mengandung bakteri) bisa diakses lebih cepat.
Menurut Komisi Informasi, bagaimana seharusnya permasalahan ini diselesaikan ?
Ketemu saja para pihak ini untuk menyamakan visi dulu. Lalu, untuk menyelamatkan kepenitngan yang lebih luas, bersepakat informasi itu dibuka ke publik.
Sekarang ini kan para pihak tidak pernah ketemu. Maka masing-masing menduga-duga, kalau informasi sudah diberikan, ada ketakutan salah satu pihak akan digugat.
Itu membuat semua berangkat dari asumsi. Ini karena tidak pernah ketemu. Pada prinsipnya, kalau mau ketemu di Komisi Informasi, bisa saja dan kami bersedia.
Bagaimana prosedurnya untuk sampai ke Komisi Informasi?
Salah satu tugas kami adalah medasi. Kalau toh nanti terus-menerus diminta tapi enggak juga dibuka, pihak pemohon bisa mengadu ke Komisi Informasi. Maka kita akan melakukan mediasi.
Siapa pun yang ingin berkonsultasi, kami juga terbuka. Tujuannya, mengutamakan informasi bisa lebih cepat sampai ke masyarakat dan kepentingan publik lebih luas bisa terlindungi.
Jadi, masyarakat -- siapapun -- bisa mengadu. Kalau mereka minta dan tidak diberikan informasi dalam 10 hari, lalu komplain seperti ke Menteri Kesehatan atau ke Rektor IPB tapi tidak direspon dalam 30 hari, bisa mengadu ke Komisi Informasi.
Yang kita lakukan, pertama kali klarifikasi berbagai pihak. Syukur kalau bisa selesai di tingkat klarifikasi. Kalau tidak, lanjut pada mediasi. Jika tetap tidak ada titik temu, bisa diputuskan sepihak, dibuka atau tidak informasi itu.