REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kekhawatiran bahwa Food estate (pertanian skala luas) akan membawa masalah ke Papua, semakin nyata. WALHI, seperti dalam siaran persnya yang diterima Republika, Senin (6/9) menegaskan bahwa selain karena akan mengambil wilayah hutan, program itu juga akan meminggirkan masyarakat adat Papua dari tanah adatnya.
Dikhawatirkan, itu hanya akan mengakibatkan kesenjangan sosial dan mencemari lingkungan juga akan menyebabkan konflik berkelanjutan di Merauke. Karena sebenarnya Food Estate dijalankan bukan untuk masyarakat Papua akan tetapi untuk pemenuhan dan perputaran modal korporasi besar seperti Wilmar, Sinar Mas dan Medco.
Kepala Departemen Kampanye WALHI, Teguh Surya, menyatakan diizinkannya perusahan-perusahaan itu ke Merauke, sama saja dengan mengajak swasta dan asing untuk membawa dan membuat masalah di Merauke karena perusahaan tersebut sumber malapetaka yang selama ini terjadi di Indonesia.
Oleh karena itu WALHI meminta pemerintah untuk meninjau ulang proyek ini sebelum menimbulkan masalah besar di Papua. Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai dengan melibatkan rakyat banyak terutama petani secara utuh dan terintegrasi dalam rencana pemenuhan pangan. Selama ini masalah pertanian justru ditimbulkan karena tingginya konversi lahan pertanian, kecilnya kepemilikan lahan petani dan lemahnya dukungan pemerintah.
M. Islah, Manager Kampanye Air dan Pangan WALHI menambahkan, ''Akan lebih tepat jika pemerintah melakukan penataan ulang struktur kepemilikan lahan dan besungguh-sungguh mendukung usaha pertanian rakyat (Reforma Agraria), daripada menyerahkan urusan pangan kepada swasta karena beresiko pada kedaulatan bangsa''.