REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Kementerian Perindustrian mulai menghitung emisi yang dikeluarkan 50 perusahaan sektor industri baja dan kertas. Kegiatan ini merupakan bagian dari program implementasi konservasi energi dan pengurangan emisi yang didanai United Nations Development Programme (UNDP).
Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan, ke-50 perusahaan itu terdiri dari 35 pabrik besi baja dan 15 pabrik kertas. "Sektor industri dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar satu juta ton setara karbon dioksida bila menggunakan pendanaan sendiri atau lima juta ton jika dengan bantuan luar negeri," katanya, Selasa (23/11).
Program implementasi konservasi energi ini meliputi empat tahap. Pertama, pelaksanaan program di sektor industri, implementasi ecolabel, promosi pengurangan karbondioksida, dan pembentukan perusahaan jasa energi atau ESCO. Selama ini, sektor energi menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. "Sisanya berasal dari teknologi proses dan limbah yang dihasilkan industri," katanya.
Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Edward Pinem, mengakui bahwa industri baja merupakan sektor yang rakus energi baik listrik, gas alam atau batubara. "Semakin banyak energi yang digunakan dalam proses produksi terutama di bidang iron atau steel making semakin tinggi jumlah emisi karbondioksida yang dihasilkan," katanya.
Misalnya, dia mencontohkan, pada tahap steel making, energi yang diperlukan antara 1.468 sampai 3.120 juta kalori per ton. Sementara, proses tersebut menghasilkan emisi karbondioksida antara 0,43 sampai 0,9 ton per satu ton baja. Konsumsi energi ini amat tergantung dengan teknologi proses produksi yang digunakan dan pemilihan bahan baku.
Dia meminta, pemerintah memberi perhatian terhadap teknologi hemat energi dan ramah lingkungan di sektor industri baja. Karena, banyak relokasi industri baja yang masuk ke Indonesia namun tak ramah lingkungan. Mereka terdepak dari negara asalnya karena tidak memenuhi standar lingkungan.