REPUBLIKA.CO.ID,PALANGKA RAYA--Dosen Universitas Palangka Raya, Sidik R Usop, mengatakan, saat ini Kalteng menghadapi masalah besar, berupa kerusakan hutan dan lahan yang sangat memprihatinkan telah mencapai 7,2 juta hektare. "Hutan rusak dan lahan kritis di Kalteng sudah mencapai lebih dari 7,2 juta hektare. Laju kerusakan hutan dan lahan di wilayah Kalteng kurang lebih 150 ribu hektare pertahun," kata Sidik R Usop, di Palangka Raya, Selasa.
Sedangkan kemampuan untuk merehabilitasi hutan hanya rata-rata 50 ribu hektare pertahun, baik rehabilitasi hutan melalui dana DAK-DR maupun melalui Geraka Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan). Berdasarkan data 2006, memperlihatkan Kabupaten Kotawaringin Timur termasuk dalam kategori yang memiliki lahan kritis terbesar 953.296 hektare. Setelah Kabupaten Murung Raya 2.403.972 hektar dan Kabupaten Seruyan 891.946 hektar, ujarnya.
Diutarakannya, 2009 luas lahan kritis di Kalteng telah mencapai 9.596.161,6 hektare, dengan luasan terbesar berada di Kabupaten Seruyan seluas 976.559,3 hektare dan Kabupaten Kotawaringin Timur 976.555 hektare. "Berbagai dampak yang terjadi akibat kebakaran hutan, lahan dan deforasi adalah, terjadinya kabut asap dan pencemaran udara, terganggunya kesehatan dan transportasi, khususnya transportasi udara, "terangnya.
Selain itu, lanjut dia, terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global, terjadinya kerusakan dan kerugian ekologis, ekonomi, sosial dan budaya, meluasnya lahan kritis. Pada sektor pertambangan, terjadi kerusakan hutan dan lahan, longsornya tepi sungai, pendangkalan dan perubahan bentang sungai, penumpukan buangan limbah, meningkatnya kekeruhan air, meningkatnya pencemaran air oleh merkuri dan menurunnya keanekaragaman hayati.
"Provinsi Kalteng Hijau merupakan kebutuhan dan sekaligus tuntutan dalam menyikapi perubahan iklim dan pemanasan global, dimana pemerintah provinsi telah menyepakati untuk menjadi projek percontohan program REDD+," tegasnya.
Kemudian, sambung dia, peran masyarakat sipil Kalteng menjadi bagian yang sangat strategis untuk mendukung gerakan Provinsi Hijau karena memiliki fungsi sebagai tempat berhimpunnya kelompok-kelompok "civil society" yang peduli terhadap lingkungan dan menempatkan isu lingkungan dalam konteks demokratis.
"Peran masyarakat dapat melakukan kritisi terhadap negara atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam melakukan kontrol atas sumberdaya alam, sehingga lingkungan hidup tampil sebagai media pertikaian politik, ekonomi dan ideologi," tandasnya.