REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU - Dua aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Firmansyah dan Dwi Nanto divonis penjara 3 bulan 20 hari karena terbukti melanggar Undang-undang nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. "Berdasarkan bukti-bukti hukum, kedua terdakwa dinyatakan bersalah dan mendapat vonis hukuman penjara tiga bulan 20 hari, dipotong masa tahanan dan denda Rp250 ribu subsidair 15 hari masa tahanan," kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Seluma Suryanto, Jumat.
Kedua aktivis tersebut bersama 18 orang warga Desa Pering Baru Kecamatan Alas Maras, Seluma, terbukti menghalang-halangi aktivitas perusahaan PT Perkebunan Nusantara VII, Bengkulu.
Mereka ditahan sejak November 2010 saat berkas perkara kasus itu sudah dilimpahkan ke PN Seluma sehingga jika dipotong masa tahanan maka 20 orang tersebut akan bebas besok (19/2). Namun, berhubung Sabtu dan Ahad adalah hari libur, maka mereka akan dibebaskan pada Senin (21/2).
Ketua Majelis Hakim PN Seluma, Suryanto usai sidang mengatakan aktivis Walhi dan warga tersebut terbukti merugikan PTPN VII sehingga ditanyakan bersalah. "Yang memberatkan adalah warga dan aktivis Walhi sudah mengakibatkan kerugian bagi PTPN VII, dan yang meringankan adalah mereka sangat kooperatif dan sebenarnya mempertahankan haknya, tapi caranya yang salah," jelasnya. Menanggapi vonis tersebut, aktivis Walhi Bengkulu Dwi Nanto mengatakan tidak terima jika dinyatakan bersalah.
"Kami bersama warga Pering Baru ini korban kriminalisasi oleh perusahaan negara itu, yang sebenarnya adalah PTPN VII yang sudah mengambil hak tanah ulayat masyarakat, tapi sebagai warga negara yang baik, kami menerima putusan itu," jelasnya.
Sengketa lahan antara warga Desa Pering Baru dan PTPN VII merupakan kasus lama yang didampingi kedua aktivis Walhi tersebut. Firmansyah dan Dwi Nanto mengadvokasi warga untuk menuntut hak mereka atas tanah ulayat seluas 240 hektare yang dinilai diserobot PTPN VII.
Namun, keduanya dan 18 warga desa ditangkap oleh Polres Seluma saat mempertahankan lahan mereka pada 23 Juli 2010 karena dinilai menghalang-halangi aktivitas perkebunan negara itu.