REPUBLIKA.CO.ID,MADIUN--Tanah ambles yang terjadi sejak tahun 2007 di Desa Bodag, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, atau di lereng Gunung Wilis, terus meluas. "Kejadian amblesnya sudah sejak tiga tahun yang lalu. Namun hingga saat ini, amblesnya tanah tersebut masih terus berlangsung bahkan meluas," ujar Kepala Desa Bodag, Sugito, kepada wartawan di Madiun, Senin.
Hingga kini, luas tanah yang ambles telah mencapai 25 hektare dengan kedalaman hingga 5 meter dan panjang 300 meter. Menurut dia, intensitas gerakan tanah di wilayah setempat semakin meningkat dibandingkan dengan kejadian sebelumnya, sehingga menyebabkan terjadinya beberapa titik longsor dalam skala kecil hingga besar.
Awalnya, tanah yang ada hanya ambles antara 1 hingga 3 meter, namun pada Desember 2010 sampai Februari 2011 kembali ambles di lokasi yang sama dengan kedalaman bervariasi antara 2 hingga 5 meter. "Karena terus meluas, amblesnya tanah yang merupakan lahan persawahan dan perkebunan tersebut, juga mulai mengancam keselamatan warga. Beberapa warga terpaksa meninggalkan rumahnya karena termasuk dalam zona rawan ambles dan longsor," katanya.
Warga sebetulnya telah melaporkan hal ini kepada Pemerintah Kabupaten Madiun, namun hingga kini keinginan warga untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman masih belum terwujud. Berdasarkan hasil musyawarah pada awal 2010, warga menginginkan relokasi di lahan milik Perhutani yakni di petak 33 dan 34 Blok Bodag yang masuk wilayah Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Malang, Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Brumbun, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun. Jarak lahan Perhutani itu sekitar 2,5 kilometer dari pemukiman warga.
Diperkirakan, terdapat 35 kepala keluarga (KK) yang masuk dalam zona rawan ambles dan longsor. Dari 35 KK yang terdampak, hanya lima KK yang sudah direlokasi dengan empat KK di antaranya pindah dengan sendirinya ke tempat yang lebih aman.
Selain itu, dari 35 KK itu, kebanyakan tidak memiliki lahan atau tanah lain, sehingga bergantung dari bantuan pemerintah. "Banyak yang tidak memiliki tanah lain, sehingga mereka terpaksa bertahan di rumahnya sendiri. Warga mengaku takut jika sewaktu-waktu terjadi longsor," kata Kades Sugito.
Ketakutan warga ini masih diperparah dengan suara gemuruh yang terdengar dari dalam tanah sejak beberapa pekan terakhir di kawasan lereng Gunung Wilis. Warga berharap agar pemerintah segera melakukan tindakan antisipasi, sehingga kerugian bencana dapat ditekan sebelum jatuh korban.
Salah satu petani setempat, Sarni, membenarkan jika lahan persawahan di desa mereka ambles. Meski demikian, warga tetap bercocok tanam karena hal itu merupakan satu-satunya sumber kehidupan mereka. "Sejak 2010 sudah ambles dan sekarang semakin parah amblesnya, namun kami tetap bercocok tanam karena hanya ini sumber pendapatan kami untuk menghidupi keluarga," kata Sarni.