REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Setiap tahun, jumlah arus balik selalu lebih besar dibandingkan arus mudik. Di terminal Kalideres, Jakarta Barat, misalnya, selisihnya mencapai sekitar 11 ribu orang.
Melihat hal ini, pengamat perkotaan Ir Rai Pratadaya mengatakan pemerintah tak bisa memaksa seseorang untuk tidak datang ke Jakarta. Sebab, Jakarta menjadi tempat perputaran uang paling cepat di Indonesia.
Rai menilai pemerintah punya tugas berat untuk mengatasi hal ini. “Mbok ya, pemerintah lebih kreatif mengatasi para pendatang,” katanya saat dihubungi pada Senin, (20/9).
Menurut Rai, langkah yang dilakukan selama ini tak membuat magnet Jakarta berkurang bagi pendatang. Sebab, kesempatan kerja di Jakarta tetap lebih banyak dibandingkan daerah lain. Padahal, tatanan ekonomi masih harus diteliti.
Selama ini, lanjut Rai, sering dikatakan bahwa income Indonesia maju. Namun, ia menegaskan hal tersebut bukan berarti sektor riil yang ada di masyarakat juga ikut maju. “Pertumbuhan ekonomi Indonesia dihitung dengan variable yang terlalu sederhana,” katanya.
Maka, yang perlu dilakukan adalah perbaikan sarana untuk bisa memfasilitasi dan menampung para pendatang. Misalnya memperbaiki infrastruktur yang ada, membuat managemen yang baik, dan membuat kawasan baru yang juga baik. “Sayangnya, rencana di atas kertas selalu bagus 200 persen, tetapi pelaksanaanya nol besar,” tuding Rai.
Rai mengatakan, migrasi yang selalu terjadi, bisa membahayakan Jakarta. Sebab, ketika para pendatang tidak bisa hidup dalam taraf yang lebih baik, mereka berpotensi untuk melakukan tindak kriminal. Belum lagi, kota yang semakin terbebani dengan jumlah penduduk yang banyak.
Rai menyarankan agar ketika orang hendak ke Jakarta sebaiknya memiliki kemampuan atau skill tertentu. Sebab, di kota ini, tingkat intelektualitas relatif lebih tinggi sehingga persaingan juga semakin ketat. “Daripada menggembel di Jakarta, lebih baik menggarap sawah di desa,” tegasnya.