REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-–Sebanyak 40 persen bangunan di DKI Jakarta tak berizin. Setiap tahunnya, ada sekitar 10 ribu hingga 12 ribu ada pengajuan perizinan bangunan. Dari jumlah tersebut, sekitar 4 ribu tercatat melakukan pelanggaran dengan sekitar 700 di antaranya sudah masuk perizinannya. Artinya, masih ada lebih dari sekitar 3 ribu bangunan yang seharusnya dibongkar.
Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) DKI Jakarta, Hari Sasongko mengatakan proses sanksi yang selama diterapkan pihaknya baru sebatas hukuman administrative seperti penyegelan. “Kami belum menerapkan UU No 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung,” katanya saat ditemui pada Selasa, (23/11). Jika undang-undang tersebut dijalankan hukuman yang diberikan bisa lebih berat.
Apalagi jika konstruksi bangunan menyalahi ketentuan yang diterapkan. Ia mencontohkan kasus Pasar Tanah Abang yang roboh beberapa waktu lalu. Sampai saat ini, prosesnya masih ada di ranah pengadilan. “Harus diteliti yang paling bertanggung jawab jika terjadi risiko yang diakibatkan dari konstruksi bangunan yang salah; pihak perencana atau pihak pelaksana. Jadi tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah,” katanya.
Selain itu, ia mengaku kesulitan untuk mendata bangunan yang berizin dan yang tidak berizin di Jakarta. Apalagi proses perizinan bangunan sebenarnya sudah ada sejak zaman Belanda. Namun, yang terdaftar ke pihaknya baru setelah masa kemerdekaan. Artinya, ada kemungkinan banyak bangunan yang sampai sekarang belum terdata.
Ia beralasan, untuk mengetahui jumlah pasti bangunan yang tidak berizin di Jakarta sangat sulit dilakukan. Pihaknya pernah mencoba menghitung dari foto peta udara. Namun, bangunan yang terlihat seringkali tumpang tindih.
Contohnya bangunan ruko yang dari peta udara terlihat hanya satu bangunan, tetapi di lapangan bisa ada lima ruko dengan kepemilikan yang berbeda. “Sulit sekali menghitung pasnya jumlah bangunan yang ada di Jakarta, termasuk yang berizin dan tidak berizin,” katanya.
Kalaupun pendataan dilakukan lewat tinjauan ke lapangan, sejumlah kendala pun ditemui. Ketika dilakukan survey di lapangan, pemilik bangunan seringkali menolak memberikan data secara lengkap dan benar. “Mereka panik karena takut bangunannya ditertibkan,” katanya.
Maka, pihaknya mencoba untuk melakukan teknik sampling dengan Universitas Indonesia untuk mengetahui jumlah bangunan di Jakarta. “Tidak usah tepat, tapi setidaknya bisa diketahui perbandingannya antara yang berizin dan tidak berizin,” katanya.
Menurut Hari, Jakarta Barat kemungkinan memiliki jumlah bangunan tak berizin yang paling banyak. “Wilayah yang minta bantuan penertiban ke Dinas P2B Jakarta adalah Jakarta Barat karena mereka mengaku kualahan,” katanya.
Pakar perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menyatakan, banyak bangunan yang tidak terdata oleh DKI. Jika dilihat dari peta kawasan terbangun, bangunan yang telah ada di Jakarta sudah memenuhi dari 92 persen lahan sedangkan 8 persennya sudah diperuntukkan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Sedangkan jika terlihat masih ada lahan yang belum terbangun sesungguhnya sudah dimiliki oleh para pengembang dan siap dibangun jika sudah ada infrasturtur jalan seperti di Jakarta Barat. “Harusnya DKI memoratorium pembangunan berlebihan ini. Dan lebih terfokus pada perbaikan infrastruktur,” ujarnya.
Menurutnya, perizinan di Jakarta itu ada empat macam. Pertama, izin formal yang persyaratannya benar-benar sesuai dengan peruntukkan bangunan. Kedua, izin aspal yaitu izin formal namun dalam detail izinnya masih ada penyelewengan. Ketiga, izin controversial yaitu diizinkan tapi menimbulkan controversial seperti Taman RIa Senanyan. Dan keempat , tidak berizin. “Sebagian besar bangunan DKI izinnya bermasalah,” kata Yayat.