Selasa 07 Dec 2010 02:17 WIB

Ketua Kowarteg: Warteg Tak Kenal PPn

Rep: C22/ Red: Djibril Muhammad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-–Penolakan pemberlakukan pajak terhadap warteg terus bergulir. Ketua umum Koperasi Warung Tegal (Kowarteg) Sastoro BA meminta agar Perda itu segera direvisi sekaligus dibatalkan. "Perlu diketahui pedagang warteg dari zaman ke zaman tidak pernah mengenal bon," katanya usai pertemuan antara Gubernur DKI Jakarta, Ketua Paguyuban Masyarakat Tegal, dan beberapa perwakilann pengusaha warteg yang dilakukan pada Senin, (6/12).

Ia mengkhawatirkan penerapannya di lapangan. Sebab, mau tak mau pengusaha dan konsumen pun akan menggunakan sistem manajemen yang canggih. "Konsumen dan pengusahanya rata-rata menengah ke bawah yang tidak mengenai PPn (pajak penghasilan) dan tidak mengenal undang-undang," katanya.

Menurutnya, usaha warteg sudah dalam mengalami perbedaan dibandingkan kisaran tahun 80 atau 90-an. Kebanyakan pengusaha warteg berjualan layaknya pedagang kaki lima (PKL). Sekarang, rata-rata menyewa tempat atau kios. Masa kontrak tempat pun dibatasi minimal dua tahun. "Warteg sekarang, masanya sulit," katanya.

Belum lagi harga bahan baku yang semakin mahal. Apabila warteg tersebut mempekerjakan karyawan, gajinya pun cukup tinggi. Tak hanya itu, kebanyakan dari mereka juga masih harus membayar tempat sewa yang harganya juga terus naik. "Dulu memang para pengusaha warteg ini punya rumah mewah. Sekarang boro-boro. Untuk bisa bayar (kontrak, karyawan dan beli bahan makanan) saja sudah syukur. Paling-paling omsetnya itu 5 persen," katanya.

Seharusnya, batasan pajak restoran itu diberlakukan kepada pengusaha yang penghasilannya diatas Rp 300 juta. Sastoro beranggapan kalau pajak ikenakan pada pengusaha dengan penghasilan Rp 60 juta, pedagang bubur kacang hijau atau bahkan warung mie instan pun bisa kena peraturan ini.

Biasanya, omzet yang diperoleh langsung diputar lagi untuk membeli bahan pokok. Jika penerapan pajak ini jadi diberlakukan, ia khawatir para pedagang tak sanggup memutar roda usaha. Keuntungan yang diperoleh pun kemungkinan akan habis hanya untuk bayar pajak. "Omzet mereka itu cuma Rp 500 ribu, bisa-bisa malah gulung tikar," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement