JAKARTA – Penundaan penandatanganan Perda Pajak Restoran dan Rumah Makan tidak mengindikasikan pembatalan Perda ini. Artinya, ada kemungkinan Perda ini tetap diberlakukan dengan besaran pengenaan pajak yang berbeda.
Sekretaris Daerah (Sekda), Fadjar Panjaitan menegaskan penundaan ini bukan berarti tidak menyetujui tetapi harus dikaji kembali. “ Pengenaan pajak yang diatur undang-undang maksimal 10 persen, artinya kita barangkali bisa memberlakukan pajak di bawah 10 persen,” katanya usai pertemuan antara Gubernur DKI Jakarta, Ketua Paguyuban Masyarakat Tegal, dan beberapa perwakilan pengusaha warteg yang dilakukan pada Senin, (6/12).
Selain itu, ia mengatakan yang diprotes oleh Koperasi Warung Tegal (Kowarteg), Ketua Paguyuban Masyarakat Tegal, dan beberapa perwakilan pengusaha warteg adalah batas pengenaan pajak pada pengusaha dengan omzet Rp 60 juta per tahun. “Kowarteg minta agar hal itu (batas pengenaan pajak) dievaluasi dan kami akan menyampaikan ke Balegda (badan legislasi daerah),” katanya.
Pihaknya mengaku tidak bisa memutuskan peraturan ini. Sebab, yang menentukan adalah Balegda untuk dibahas kembali berdasarkan masukan yang diterima. Tak ada target pasti mengenai penerapan peraturan ini. “Yang jelas secepatnya,” katanya.
Sementara itu, meski menunda penandatanganan Perda itu, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo pun tak menyebutkan batas waktu penundaan. Ia hanya mengatakan akan meneruskan hasil pertemuan dengan perwakilan pengusaha warteg ke Balegda untuk dikaji kembali.
Dengan demikian, Foke mengisyaratkan untuk tidak membatalkan pajak restoran karena hal itu merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang tersebut memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan pajak daerah maksimal sebesar 10 persen, termasuk pada jenis usaha makanan dan minuman.