REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Harian Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, Riant Nugroho mengatakan besaran minimum penerimaan kena pajak harus ditetapkan dengan benar dan tidak semena-mena. “Besaran per hari Rp 500 ribu atau Rp190 juta per tahun adalah penentuan besaran yang semena-mena,” katanya. Menurutnya, pada 1996 besaran Rp 190 juta ekuivalen dengan USD 80.000. Hari ini Rp190 juta hanya ekuivalen dengan USD 20.000.
Ia mengatakan agar batasan besaran omzet bisa adil, maka perlu melihat kriteria usaha kecil menurut UU No 9 tahun 1995 (sebelum krisis) yaitu antara lain memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 miliar.
Menggunakan criteria tersebut, yang masuk kepada kriteria perpajakan secara mutlak adalah usaha dengan omset 500 ribu dolar AS pertahun. Artinya, ekuivalensi USD 20 ribu per tahun jelas kurang pada tempatnya. “Pada hemat saya, jika ekuivalensi USD 500 ribu per tahun terlalu besar, setidaknya 30 persen dari total tersebut, yaitu sekitar US 150 ribu per tahun, atau sekitar Rp 1,5 miliar per tahun,” katanya.
Menurutnya, pemerintah rata-rata tidak mempunyai keahlian yang cukup dalam merumuskan kebijakan publik dengan memanfaatkan metode “sensitivitas kebijakan”. Yakni semacam simulasi yang dibuka kepada pemangku kepentingan berapa beban financial yang diberikan dan berapa beban ekonomi secara keseluruhan kepada pelaku dan pengguna.
Dengan penetapan pajak 5 persen saja, harga makanan dapat naik sampai 20 persen. “Pasar bukan sektor yang dapat diatur pemerintah, jadi jika ada kebijakan yang akan mengganggu pasar, pemerintah harus lebih hati-hati dan cermat,” katanya.
Jangan sampai, lanjutnya, kebijakan perpajakan ini akan mematikan usaha-usaha mikro yang tumbuh pesat dalam bentuk sektor informal karena kegagalan pemerintah mendorong pertumbuhan ekonpmi yang lebih berkualitas.