Rabu 12 Jan 2011 03:20 WIB

ERP Terancam Batal

Rep: esthi maharani/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Peraturan pemerintah (PP) mengenai penerapan Electronic Road Pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar hingga saat ini belum juga turun. Akibatnya, ERP terancam batal diterapkan. Terlebih lagi operasional system jalan berbayar ini belum bisa dijamin.

Deputi Gubernur DKI Bidang Transportasi Sutanto Soehodho mengatakan ada beberapa kebijakan PP di Kemeterian Perhubungan yang menunggu payung hukum dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). ‘Sementara Kemenkeu belum membahasnya karena memang sulit,” katanya pada Selasa, (11/1).

Sutanto mengatakan kebijakan sistem ERP membutuhkan beberapa payung hukum, yaitu terkait teknis pelaksanaan ERP di ruas jalan yang diinginkan dan pungutan yang akan dibebankan kepada para pengguna jalan.

Terkait teknis pelaksanaan ERP, Pemprov DKI Jakarta hanya tinggal menunggu Peraturan Pemerintah tentang Teknis Pelaksanaan ERP yang dikeluarkan Kementrian Perhubungan RI. Dasar hukumnya adalah adanya klausul dalam Undang-undang nomer 22/2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan yang menyebutkan bahwa diijinkan adanya satu ruas jalan diterapkan jalan berbayar atau road pricing.

Namun ketentuan itu dirasa masih kurang karena Undang-undang nomer 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) tidak mampu menampung ketentuan tentang besaran pungutan tarif dalam bentuk retribusi yang diterapkan dalam jalan berbayar itu.

“Dulu diminta di pajak PDRD tapi tidak masuk karena ada klausul pajak retribusi dan retribusi lain-lain, tapi road pricing belum masuk dalam retribusi lain-lain. Jadi harus ada sinkronisasi antara dua UU itu,” ujar Sutanto.

Apalagi hingga saat ini Sutanto mengatakan bahwa Kementrian Keuangan RI belum membahas lahirnya Undang-undang baru terkait besaran tarif sekaligus siapa pihak pengelola retribusi ERP. Bukan hanya itu saja, pemerintah pusat juga mempertimbangkan dampak lahirnya Undang-undang bagi pemerintah daerah kota lain.

“Jakarta bisa saja melakukan pungutan dengan dasar Undang-undang dari pemerintah pusat, tapi daerah lain bisa melakukan hal yang sama meski mengada-ada. Apalagi kalau sudah jadi UU yang dikeluarkan pemerintah pusat maka daerah kota lain bisa begitu,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement