Rabu 16 Mar 2011 13:32 WIB

Sulit Tekan Kebocoran Air di Jakarta

Rep: Esthi Maharani/ Red: Krisman Purwoko

REPUBLIKA.CO.ID,KEBON SIRIH--Kebocoran air minum di Jakarta diperkirakan sudah cukup parah. Diperkirakan rata-rata kebocoran air di Jakarta mencapai 46 persen. “Angka ini masih relatif tinggi,” kata Direktur Utama Perusahaan daerah Air Minum (PDAM) Jaya, Mauritz Napitupulu pada Rabu, (16/3).

Menurutnya, kondisi air minum di Jakarta masih jauh dari ideal. Begitu pula dengan distribusinya. Daerah cakupan air pun baru sekitar 62 persen. Ia mengatakan kebocoran ini harus ditekan dan dikendalikan. “Masih banyak pula yang belum sesuai standar pelayanan minimal,” katanya. Bahkan, ada warga yang zero consumtion meski sudah menjadi pelanggan.

Maka, pihaknya  mengidealkan pada 2022, hal tersebut bisa menurun hingga 25 persen. Hal ini dimintakan kepada dua distributor air di Jakarta, yakni PT Palyja dan PAM Jaya. Termasuk dengan upaya menyeimbangkan utang Pemprov ke operator air (rebalancing).

Namun, untuk menekan angka ini ternyata sulit dilakukan. Humas PT PAM Lyonnaise Jaya (PALYJA), Meyritha Maryanie mengatakan pada akhir 2010, tingkat kebocoran air minum Palyja mencapai 42,3 persen. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan ketika Palyja baru berdiri pada 1998. Saat itu, kebocoran mencapai 60 persen. “Kalau melihat sejarah 12 tahun ini, sebenarnya tidak mudah untuk bisa menekan kebocoran air di Jakarta,” katanya.

Dari kebocoran 60 persen menjadi 42 persen saja, lanjutnya, sudah sangat sulit. Untuk 2011, pihaknya hanya menargetkan untuk menekan kebocoran hanya sampai 41-40 persen saja. “Untuk menurunkan kebocoran 1-2 persen saja itu sudah bagus,” katanya.

Sementara jika Pemprov menargetkan untuk menekan kebocoran air hingga 25 persen, mungkin bisa dilakukan. Hanya saja, ada syarat yang harus dipenuhi Pemprov. Yakni, perlunya investasi yang besar untuk bisa mengganti pipa tua dan pipa rusak dengan yang baru atau minimal memperbaiki pipa tersebut.

Saat ini, Palyja memiliki total pipa sepanjang 5300 km. Yang baru diperbaiki hanya sekitar 2 ribu. Sedangkan diperkirakan ada 3ribu pipa yang sudah tua. “Angka ini belum termasuk pipa yang sengaja dirusak,” katanya. Ia mengatakan kebocoran ini kerap terjadi karena dua faktor, yakni kebocoran fisik dan adanya pencurian.

Selain itu, Meyritha juga mengeluhkan penegakan hukum yang masih kurang tegas. Efek jera bagi para pelaku pencurian air ini terbilang tak ampuh. Sebab, hukuman yang diberikan hanya delapan bulan. “Setelah itu, bisa saja mereka kembali mencuri air,” katanya.

Terlebih lagi, air baku di negara itu gratis. Sedangkan di Jakarta, air bakunya masih diharuskan membayar. Contohnya, Palyja harus membayar 2.200 per kubik dari Tangerang. Sedangkan pasokan dari daerah itu mencukupi 35 persen kebutuhan air di Jakarta.

Selain itu, Palyja juga masih harus membeli air baku dari perum jasa tirta II (PJT II). Terkadang, air baku yang dibeli pun tidak bagus sehingga butuh diolah lagi sehingga biaya pun semakin besar.

Ia membandingkan dengan Manila Timur, Filipina yang berinvestasi sebesar Rp1 triliun dalam satu tahun. Hasilnya, kebocoran di sana bisa turun dari 60 persen menjadi 20 persen. Di Jakarta, Rp1,4 triliun itu diinvestasikan untuk 12-13 tahun. “Di Filipina air bakunya pun gratis,” katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement