REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dari logat bicaranya yang khas, orang akan mudah menebak kalau laki-laki 34 tahun ini asal Tegal. Muhidin, adalah satu dari sedikit orang yang bersedia mengabdi di ranah-ranah asing yang jarang ditempuh orang kebanyakan. Dia mengajar agama untuk para narapidana di sebuah 'pesantren' bernama Lembaga Pemasyarakatan (LP). Anak didik-nya tersebar di sejumlah LP kenamaan seperti LP Wanita Tangerang, LP Anak, LP Cipinang, dan Rumah Tahanan (Rutan) Salemba.
"Yang mengaji ke saya berjenjang mulai dari saksi, tersangka, terdakwa hingga terpidana," katanya sedikit berkelakar. Dia sudah pernah berjumpa dengan semua pejabat yang tersangkut kasus dan harus mendekam di hotel prodeo. "Tugas saya membina, dan saya berusaha tidak peduli dengan statusnya sebelum masuk penjara. Bagi saya, baik rakyat biasa maupun pejabat, ketika disini (LP), semua menjadi saudara yang harus kita semangati,” tuturnya sambil menyebut salah seorang pejabat tinggi tersebut.
Profesi khasnya ini bukan tanpa tantangan. Keluarga besarnya yang ada di daerah Balapulang, Tegal, Jawa Tengah, sering kali menunjukkan penentangan. “Saya anak ke-4 dari 6 bersaudara. Hanya saya yang dianggap beda. Saya tabah saja, walaupun sering ditegur, kerja kok seperti ini, ngapain capek-capek nggak ada duitnya,” katanya pilu sambil menuturkan.
Sering kali hati kecil Muhidin mengaku bahwa dirinya memang belum mapan secara ekonomi. Untuk pergi mengajar ke LP, dia hanya menggunakan sepeda. Secara resmi, memang dia tidak digaji oleh pihak LP, namun sesekali dia menerima uang pengganti transportasi ala kadarnya. Untuk menyambung hidup, Muhidin dan istrinya, Amimah (30)--yang kini sedang mengandung 8 bulan --berjualan di rumahnya di bilangan Batu Ceper, Tangerang, Banten.
"Bagi saya berat secara ekonomi, tapi kalau untuk meninggalkan mereka (para napi binaannya -red), saya tidak bisa. Saya masih belum berhasil mengajak kawan-kawan saya untuk menyisihkan waktu mereka, ikut membina di LP bersama saya. Kebanyak an mental dan keluar, dan semuanya karena di LP tidak ada duitnya," ungkapnya pilu.
Muhidin selalu menyemangati dirinya bahwa Allah pasti akan selalu menjamin rezekinya. Selain itu, ada kenikmatan tersendiri ketika melihat bahwa napi-napi yang menjadi binaannya sudah keluar, kemudian menjadi pedagang atau bekerja di tempat yang halal. Alhamdulillah... “Saya pernah ke Lampung. Di suatu tempat, saya ditegur seseorang yang awalnya tidak saya kenal. Setelah ngobrol lama ternyata dia mantan napi yang saya bina di Jakarta. Saya diajak ke rumahnya, dikenalkan dengan keluarga besarnya sebagai ustadz yang sudah membimbingnya. Dia sekarang sudah hidup normal dengan berjualan.
Melihat itu saja, saya merasakan kenikmatan batin yang luar biasa,” kisahnya. Muhidin hanya berharap bayi yang tengah dikandung istrinya akan lahir dengan normal dan sehat. Dia bahkan berjanji tidak akan meninggalkan pekerjaannya ini. “Sampai Allah memanggil saya, baru saya akan berhenti. Soal ekonomi, saya yakin rezeki dari Allah Mahaluas. Dengan dukungan istri tercinta, saya yakin semua akan baik-baik saja,” tekadnya