REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR--Dua puluh delapan tahun yang lalu dia datangi Pulau Cangke, pulau kecil dengan jarak tempuh 2,5 jam menggunakan perahu dari Makasar bila kondisi laut sedang tenang. Berdua dengan istrinya tercinta dia tinggal di pulau tak berpenghuni tersebut. Sampai kini pun dia hanya tinggal di rumah berukuran 3 kali 4 meter yang dindingnya terbuat dari susunan kayu-kayu bekas yang dikumpulkan dari tepi pantai.
Pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Cangke, pulau tersebut masih dalam keadaan gersang tanpa pepohonan. Saat itu yang ada hanyalah pohon-pohon perdu. Dialah yang lantas menanam pohon pinus, pohon kelapa, dan pohon lainnya agar tempat itu tak lagi gersang. Kini pohon yang dahulu dia tanam telah besar dan menghijaukan pulau berpasir putih tersebut. Burung-burung pun kini senang bermain-main sambil mencari makan. Ikan-ikan pun makin banyak saja datang di balik terumbu karang yang dia jaga.
Dia sangat hati-hati menjaga hutan pulau tersebut sehingga akan sangat marah bila melihat orang-orang menebang pohon yang dia tanam atau mencari ikan dengan cara menebar racun. Bahkan dia tak bisa tidur semalaman bila ada orang lain yang datang menginap di pulau tersebut, khawatir mereka menebang pohon atau menangkap ikan dengan cara menebar racun.
Kini di usianya yang telah memasuki 76 tahun dia masih menjadi penjaga Pulau Cangke, meski dengan keterbatasannya akan kondisi mata yang sudah tidak sempurna serta penyakit mata yang dideritanya. Sejak 10 tahun lalu semua yang dia lihat hanyalah bayangan hitam karena matanya tak lagi bisa melihat karena terlalu seringnya dia menyelam saat membantu memperbaiki terumbu karang tanpa alat-alat selam sama sekali.
Saya bersyukur bisa menemaninya saat makan malam. Saya jadi tahu tentang arti pentingnya air bagi kehidupan. Air putih diminumnya seteguk demi seteguk, perlahan-lahan sambil sesekali menarik napas panjang. Saat ditanya mengapa dia begitu, jawabnya, “Ri pulau susah ki je’ ‘ne na… anrinni je’ ne na cinonggi, dinging dan nyamangi ri nyawayya.” Air di pulau susah sekali, di sini air putihnya enak sekali, dingin menyegarkan. Di pulau air sulit didapatkan, bahkan dia harus menampung air hujan agar dapat minum.
Saya tak bisa membayangkan tekadnya menghijaukan bumi dan kekuatannya melakukan semuanya. Apa yang dia lakukan sejalan dengan program “Sedekah Pohon” yang saat ini tengah Dompet Dhuafa galakkan. Dia lakukan itu sendirian dan dengan setulus hati. Matanya memang buta namun hatinya bisa melihat betapa pohon-pohon itu tersenyum gembira dengan memberikan udara segar kepadanya. Pohonpohon yang dia tanam cuma dengan satu tekad agar semua dunia ini hijau, lestari, dan menghidupi bagi banyak makhluk.
Kita membutuhkan banyak orang yang dengan kerelaan dan kesungguhan hati mau menanam pohon bukan untuk diri sendiri tapi untuk anak cucu di masa mendatang. Inilah pula yang membuat Daeng Abu ingin membeli bibit pohon bakau agar Pulau Cangke tetap bertahan dari gerusan ombak. "Pulaunya sekarang semakin kecil, saya tak ingin pulau ini hilang dari laut," katanya perlahan dengan logat khas Makassar. Saya jadi ingat sebuah hadis Rasulullah saw.: "Tak ada seorang Muslim yang menanam pohon atan menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali dia akan mendapatkan sedekah karenanya." (HR Bukhari dan Muslim).