REPUBLIKA.CO.ID, SERANG--Masalah lambannya pembangunan infrastruktur tidak hanya sekadar soal pembebasan lahan. Namun kendala pembiayaan menjadi salah satu persoalan pelik yang harus diselesaikan pemerintah.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Silmi Karim, menilai, pemerintah harus memiliki terobosan lain untuk mendorong kurangnya pembiyaan dalam pembangunan infrastruktur.
Pola Kerja Public Private Patnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) belum cukup untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut. Salah satu langka maju itu, menurut Silmi, yakni dengan menerbitkan obligasi (surat utang) infrastruktur.
"Bentuknya dapat seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI) khusus infrastruktur dengan yield rendah dan melihat resiko yang ditimbulkan, jadi masyarakat bisa beli surat utang itu," ujar Silmi saat diskusi dengan Forum Wartawan Keuangan dan Moneter (Forkem) tentang pembangunan Infrastruktur, di Anyer, Banten, Sabtu (31/7).
Penerbitan ini, lanjut Silmi, juga untuk mengatasi masalah keterbatasan pembiyaan yang diberikan oleh perbankan karena terbatasnya tenor. "Tapi ini bolanya ada pemerintah karena sekarang investor tengah menunggu, masalahnya kini ada hambatan di Kemenkeu,terangnya.
Pada kesempatan yang sama Menteri Pekerjaan Umum DJoko Kirmanto mengakui anggaran pemerintah masih jauh dari cukup. Dia mengungkapkan, total kebutuhan investasi infrastruktur di Kementerian Pekerjaan Umum dan Permukiman tahun 2010 sampai 2014 sebesar Rp 689 triliun. Namun pemerintah hanya mampu menyediakan dana sebesar Rp 268,805 triliun.
Sisa kekurangannya diharapkan dari anggaran belanja di daerah sebesar Rp 246,825 triliun. Kemudian ditutupi melalui pola KPS sebesar Rp 167,088 triliun antara lain untuk jalan tol prasarana air bersih, air baku, dan persampahan.
Khusus jalan tol, lanjut Djoko, pemerintah menargetkan akan membangun 19 ruas sepanjang 800 kilometer pada 2010 sampai 2014. Sebanyak 82 kilometer dilaksanakan oleh pemerintah dan 718 dilaksanakan oleh swasta.