REPUBLIKA.CO.ID,SIDOARJO – Korban lumpur lapindo masih merasa terjajah, meski negara Indonesia sudah merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang ke-65. Sebagai bentuk perjuangan atas perasaan terjajah oleh lumpur lapindo itu, puluhan warga masih bertahan menggelar aksi demo di pintu gerbang kantor DPRD Sidoarjo hingga Rabu (18/8).
Puluhan warga itu sebenarnya sudah menduduki kawasan pintu gerbang kantor DPRD Kota Udang ini sejak pekan lalu. Mereka menuntut agar ganti rugi segera dilunasi. Bahkan, pemerintah diharapkan bisa mengambil alih ganti rugi tersebut. Apalagi, warga sampai saat ini mengaku masih belum menerima cicilan angsuran tiap bulan sebagaimana yang dijanjikan PT menarak Lapindo Jaya.
Makanya, peringatan hari kemerdekaan RI ke-65 pada tahun 2010 ini dirasakan para korban lumpur, masih belum memberikan makna merdeka sesungguhnya. ‘’Kalau kami merdeka, tak mungkin berahan menududki kantor DPRD ini,’’ tutur koordinator aksi korban lumpur Lapindo, M Zainul, Rabu (18/8).
Menurut dia, warga korban lumpur sampai saat ini masih merasa belum merdeka dari belenggu Lapindo. Sebab, soal pembayaran pelunasan dan cicilan sisa ganti rugi yang harus diterima korban lumpur sampai saat ini juga belum ada kejelasan. ‘’Makanya, kami masih merasa terjajah pada era negara yang sudah merdeka ini,’’ katanya.
Perasaan terjajah itu juga dirasakan warga korban lumpur dari empat desa lainnya. Di antaranya warga korban lumpur dari Desa Kedungbendo,Siring, Jatirejo dan Renokenongo. Sehingga, mereka merayakan HUT Kemerdekaan RI, Selasa (17/8) lewat aksi demo di depan gedung DPRD Sidoarjo.
Kala itu mereka memperingati detik detik proklamasi kemerdekaan. Puluhan warga dari empat desa itu membacakan sikap keprihatinan terkait dengan apa yang dialami dan dirasakan selama ini. Di anara ketiga keprihatinan itu berbunyi: “Kami korban lumpur, merasa belum merdeka dari belenggu Lapindo. Kami korban lumpur meminta komitmen pemerintah untuk mengambil alih pemerintahan dalam sisa pembayaran 80 %, Kami akan terus melakukan aksi hingga ada pembayaran ganti rugi dari Lapindo.
‘’Tiga poin itu yang kami rasakan dan kami perjuangkan untuk memerdekakan dari belenggu lumpur lapindo itu. Sebab, hanya itu yang menjadi tujuan kemerdekaan kami,” tegas M Zainul yang diamini H Sun, di antara warga korban lumpur dari Desa Kedungbendo.
Sementara itu, luapan lumpur yang terjadi di Porong sampai saat ini masih belum pulih. Bahkan, petugas di lapangan mengerahkan dua alat pengeruk seperti ekskavator dan ekskaponton membuat alur pembuangan lumpur baru di tanggul Kedungbendo.
Pembuatan alur baru tersebut tidak dibantah staf Humas BPLS, Achmad Khusairi. Menurut dia, pembuatan alur baru di kolam lumpur itu untuk mengurangi beban endapan lumpur yang berada di dalam kolam. “Itu merupakan rekayasa dalam kolam penampungan. Tujuannya agar pengaliran lumpur dari kolam penampungan bisa berjalan dengan lancar dan menghasilkan aliran lumpur yang maksimal. Sehingga, dilakukan rekayasa pengaliran,” tuur Khusairi.
Rekayasa itu dilakukan, kata dia, karena endapan lumpur yang ada di dalam kolam penampungan lumpur (pond) seperti Kedungbendo dinilai sudah melebihi ambang batas. Karena itu, rekayasa alur di dalam kolam penampungan ini diharapkan bisa mengalirkan lumpur dari kolam penampungan ke Kali Porong dengan lancar dan maksimal.