REPUBLIKA.CO.ID, TULUNGAGUNG--Festival manten kucing yang digelar pemerintah daerah setempat sebagai salah satu kegiatan memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-805 Kabupaten Tulungagung dikecam pleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tulungagung. MUI Tulungagung menegaskan, ritual atau festival manten kucing yang diikuti 19 kecamatan se-Tulungagung beberapa waktu lalu telah melecehkan kiai dan menodai agama.
"Bagaimana mungkin pemerintah memfasilitasi kegiatan yang berbau syirik dan melukai hati umat Islam. Masak, kucing dinikahkan layaknya menikahkan manusia secara Islam, apalagi disertai ijab qabul dan diiringi shalawat hadrah segala," kata Wakil Ketua MUI Tulungagung, Maskur Kholil, Kamis (25/11).
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fatah Mangunsari, Kedungwaru itu menjelaskan, yang menjadi sorotan MUI adalah penampilan sosok kiai yang menikahkan kucing layaknya perkawinan manusia. "Siapa pun boleh mengembangkan budaya. Tapi jangan sekali-kali mencampuradukkan agama dengan budaya, itu (manten kucing) sama artinya melecehkan kiai," ujarnya.
Kecaman serupa juga dilontarkan Sekretaris MUI, Abu Sofyan Sirojuddin. Menurut dia, pemerintah daerah dan Bupati Heru Tjahjono tidak menghiraukan peringatan MUI sebelum kegiatan yang tertuang dalam surat bernomor 115/DP-Kab/MUI-TA/2010.
Padahal, surat itu disampaikan secara resmi dan ditandatangani langsung oleh ketua MUI KH Hadi Mahfud tertanggal 9 November, ternyata peringatan itu tidak diindahkan dengan tetap menggelar festival dengan menampilkan seperti sosok kiai. "Kami sudah jauh-jauh hari melayangkan surat peringatan tapi surat itu dianggap angin lalu," kata salah satu ulama paling berpengaruh di Kota Marmer itu kecewa.
Dikonfirmasi terpisah, Bupati Heru Tjahjono setelah parade dakon masuk MURI mengatakan, pihaknya menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh masyarakat Tulunggaung. Ia berjanji, kegiatan yang bisa menimbulkan kontoversi di masyarakat dan kalangan ulama tidak akan digelar lagi pada tahun-tahun mendatang. "Kami minta maaf," kata Bupati.
Festival manten kucing sendiri berasal dari ritual serupa yang biasa digelar di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, namun kemasan ritual itu hanyalah berupa prosesi pemandian sepasang kucing yang secara simbolis dijodohkan di sebuah sumber mata air setempat yang disebut Coban Kromo. Tradisi itu dilakukan warga Desa Pelam ketika sedang kesulitan air