Jumat 03 Dec 2010 04:56 WIB
RUU Keistimewaan Yogyakarta

Presiden dan Sultan harus Duduk Bersama

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung Wibowo mengatakan, untuk menyelesaikan polemik mengenai keistimewaan Yogyakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Sri Sultan Hamengkubuwono X harus duduk bersama.

"Sudah waktunya Presiden Yudhoyono mengklarifikasi soal monarki Yogyakarta dan duduk bersama Sultan serta komponen bangsa lainnya untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut," kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu, di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, jika Presiden menginginkan pemilu secara langsung atau tidak di Yogyakarta, seharusnya melalui fraksinya. Itu pun tergantung dari fraksi-fraksi lainnya.

Ia mengatakan, pernyataan Presiden tentang monarki Yogyakarta telah memunculkan wacana baru, dimana masyarakat Yogyakarta akan melakukan referendum.

"Permasalahan ini menjadi rumit, sehingga harus diselesaikan," katanya.

Menurut dia, pembahasan tentang Rancang Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta telah lama dilakukan oleh DPR dan mengalami kebuntuan terhadap pasal pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta.

"Salah satu fraksi tidak setuju pengangkatan Gubernur dan Wakilnya ditetapkan sesuai dengan sejarah pembentukan Yogyakarta dan NKRI. Itulah yang menjadi persoalan dan menjadi berlarut-larut. Pemerintah seharusnya melakukan pembahasan dengan DPR, namun tidak dilakukan sehingga persoalannya menjadi berkepanjangan," katanya.

Sebelumnya, Indonesia Development Monitoring meminta agar pemerintah dan DPR segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta.

"Sudah seharusnya yang dilakukan pemerintah tidak lagi berpolemik soal monarki, tapi pemerintah dan DPR harus segera mendorong penyelesaian Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta," kata Koordinator IDM Munathsir Mustaman.

Menurut dia, polemik tentang monarki yang bertabrakan dengan demokrasi yang berkembang saat ini tidak produktif sebab hanya akan menguras energi.

Selain itu, menurut dia, selama ini di Yogyakarta tidak terjadi sistem monarki meskipun jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dijabat oleh Sultan dan Paku Alam.

"Walaupun dipimpin oleh Sultan tapi tidak otomatis menjadi monarki karena ada DPRD yang dipilih dan mengontrol jalannya sistem pemerintahan," katanya.

Menurut dia, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B telah mengatur tentang pemerintah daerah yang mempunyai kekhususan dan keistimewaan.

Dalam ayat 1 Pasal 18B disebutkan "Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur undang-undang".

Selain itu, ayat 2 menyebutkan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang".

Dengan demikian, menurut dia, keistimewaan Yogyakarta merupakan bagian keniscayaan sejarah sesuai dengan dasar hukum negara yang ada saat ini.

sumber : antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement