Senin 06 Dec 2010 02:04 WIB
RUU Keistimewaan Yogyakarta

Komunikasi yang Buruk Timbulkan Kesalahpahaman

Rep: rosyid nurul hakim/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,OGYAKARTA - Pemerintah telah melakukan teknik komunikasi politik yang buruk soal status Kepala Daerah DI Yogyakarta. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman bagi masyarakat Yogyakarta.

"Strategi komunikasi politik pemerintah buruk," ujar Pengamat Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, di Yogyakarta, Minggu (05/12). Menurutnya, tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cenderung mendua. Pada pidato klarifikasinya, presiden mencoba menenangkan semua pihak. Namun, tidak berapa lama dalam sidang kabinet terbatas, justru diputuskan bahwa tetap ada pemilihan Gubernur DI Yogyakarta, dan posisi Sultan berada diatas gubernur.

Hal ini diperburuk dengan disebutkannya hasil survei yang menunjukan bahwa 71 persen rakyat Yogya menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur DI Yogyakarta dipilih langsung lewat Pemilukada. Meskipun, pemerintah menyatakan bahwa survei bukan dilakukan berasal dari pemerintah. Namun, efeknya bisa menimbulkan ketegangan di masyarakat.

"Itu justru bisa menimbulkan ketegangan antara kelompok yang pro penetapan dan pro pemilihan," kata Ari. Dua pihak ini masing-masing dikhawatirkan mulai beradu angka. Sehingga berubah menjadi politik angka. Jika ini terus dilanjutkan, tuntutan referendum akan semakin menguat. Demi untuk membuktikan angka mana yang benar.

Oleh karena itu, Ari menyarankan pemerintah untuk bisa menggunakan komunikasi politik yang baik. Komunikasi dengan masyarakat Yogyakarta harus dibangun secara intensif. Tujuannya untuk mengenalkan institusi baru dari pemisahan antara Kesultanan dan gubernur tersebut. Pemerintah harus mampu menjelaskan posisi masing-masing (Kesultanan dan Gubernur) dan juga kewenangannya. "Kalau hanya membiarkan saja konsep itu, nantinya akan sulit," ujanya.

Tanpa adanya komunikasi atau dialog yang dibangun oleh pemerintah. Kesalahpahaman pasti akan terjadi di kalangan masyarakat, bahkan di kalangan Keraton. Persepsi bahwa kekuasaan Sultan telah dilucuti karena tidak menjalankan politik sehari-hari bisa saja menguat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement