REPUBLIKA.CO.ID,SEMARANG--Pakar hukum tata negara Universitas Diponegoro, Profesor Arief Hidayat menilai pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DI Yogyakarta sebaiknya ditunda dulu.
"Momentumnya saat ini sebenarnya kurang tepat, apalagi masyarakat Yogyakarta tengah bergejolak dengan itu, karena itu baiknya ditunda dan `cooling down` dulu," katanya di Semarang, Selasa.
Ia mengatakan maksud pemerintah pusat yang ingin membuat regulasi tentang keistimewaan Yogyakarta sebenarnya baik agar ke depannya ada regulasi jelas yang mengaturnya.
Namun, kata dia, pemerintah harus melihat kondisi yang terjadi di bawah, tidak bisa menjalankan kemauan tanpa melihat kondisi dan aspirasi yang berkembang di masyarakat, termasuk terkait Yogyakarta.
"Meski menata daerah yang tidak memiliki status `istimewa, pemerintah harus tetap melihat kondisi dan aspirasi masyarakat, apalagi untuk Yogyakarta yang memiliki keistimewaan," katanya.
Menurut dia, saat ini masih banyak pekerjaan rumah lain yang lebih penting untuk diselesaikan, seperti penataan tanah, penataan lembaga negara, dan upaya pemberantasan korupsi.
"Saya pikir itu lebih penting untuk diselesaikan saat ini, dibandingkan penataan keistimewaan Yogyakarta, apalagi selama ini masyarakat Yogyakarta `adem-ayem` dengan kondisi itu," katanya.
Penataan keistimewaan Yogyakarta memang baik, kata dia, namun untuk saat ini sebaiknya ditunda dahulu, diendapkan dulu, sampai suasana kondusif untuk membahasnya secara lebih jauh.
"Kalau (RUUK Yogyakarta, red.) belum diserahkan ke DPR bisa ditunda dulu, kalaupun sudah diserahkan DPR juga tidak masalah, sebab DPR bisa menunda pembahasan atas kesepakatan bersama," katanya.
Terkait pengaturan keistimewaan Yogyakarta, ia menjelaskan pemerintah sebenarnya tidak boleh memandang persoalan hanya secara positivistik, bahwa semuanya harus diatur secara hukum.
"Selama ini, masyarakat Yogyakarta sudah menerima bahwa jabatan Gubernur dan wakilnya dijabat secara `ex officio` oleh Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono dan Paku Alam," katanya.
Dalam pandangan hukum, kata dia, kebiasaan yang sudah dijalankan secara turun-temurun dalam masyarakat bisa menjadi hukum dan harus dipatuhi, apalagi melihat konteks sejarah Yogyakarta.
"Pandangan positivistik yang melihat semuanya harus diatur hukum memang benar, namun memang tidak ada jaminan saat ada hukum positif yang mengatur, kondisi justru akan lebih baik," kata Arief.