REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA--Keberadaan teater saat ini mengalami kondisi 'jalan di tempat' pasca-meninggalnya WS Rendra. Hal ini disampaikan aktor sekaligus sutradara film, Slamet Rahardjo Djarot.
Slamet mengemukakan hal itu ketika berbicara pada seminar 'Teater Modern Indonesia Pasca-Rendra' di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jatim, Jalan Genteng Kali, Surabaya, Sabtu malam (6/11).
"Teater itu sekarang tetap ada, tapi tidak dirasakan kehadirannya oleh masyarakat. Jadi, sudah saatnya kita berubah untuk menjadikan teater bisa diterima oleh semua," ujar Slamet.
Sebagai seorang pekerja teater, kata Slamet, ia tidak akan mengarahkan pemikiran agar seniman berfungsi sebagai hamba yang melayani selera masyarakat yang belum tentu semuanya benar.
"Namun, sudah seyogianya seniman hadir sebagai inspirator dalam upaya masyarakat meningkatkan taraf kehidupan yang memiliki nilai mulia," ujar kakak kandung Eros Djarot tersebut.
Hal senada dikatakan sutradara dan budayawan sastra, Putu Wijaya. Pasca-meninggalnya WS Rendra, katanya, teater modern Indonesia terkesan stagnan. "Teater modern Indonesia memang masih segar, tetapi kritiknya yang masih kurang," tukas dia.
Faktor utamanya, lanjut Putu, karena banyak kelompok teater yang kesulitan menemukan pemikiran untuk melandasi kerja kreatif dalam menghidupkan teaternya.
Sementara, dalam seminar yang dipandu Rachmat Giryadi tersebut, selain Slamet Rahardjo dan Putu Wijaya, ada juga pengamat akademisi dan penulis seni asal Australia, David Reeve.
Seminar tersebut merupakan rangkaian dari Kompetisi Teater Indonesia I/2010 bertajuk 'Tribute to WS Rendra' yang diikuti 44 tim teater dari seluruh Indonesia di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, 1-8 November.
Peserta kompetisi yang digelar Lintas Masyarakat Teater Jawa Timur (LMTJT) dan Dewan Kesenian Surabaya (DKS) itu datang dari seluruh Jawa, Sumatra, Sulawesi, NTB, NTT, Bali, dan sebagainya.