REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sutradara Hanung Bramantyo mengatakan, aturan kenaikan bea impor film asing oleh Direktorat Jendral Pajak Kementrian Keuangan menunjukan Pemerintah tidak memahami persoalan perfilman di tanah air. Hanung mengatakan, bila ingin mendukung film nasional, maka Pemerintah seharusnya menurunkan pajak film lokal dan memperluas jangkauan penonton.
Hanung menuturkan, ongkos yang dibutuhkan untuk membuat film di Indonesia terhitung cukup tinggi. Selain pajak yang dibebankan pemerintah, sutradara berusia 35 tahun ini mengatakan, sineas juga harus menanggung biaya bahan baku yang mahal.
"Pajak yang dikenakan bertingkat. Setiap alat dikenakan pajak. Selain itu, biaya bahan baku, seperti seluloid juga sangat mahal. Sementara, kita tidak pernah tahu kemana larinya uang pajak tersebut," kata Hanung ketika dihubungi, Ahad (20/2).
Hanung menyatakan, besarnya biaya produksi di Indonesia tidak sepadan dengan jumlah penonton yang datang ke bioskop. "Untuk film bermodal Rp 6 miliar, kita butuh satu juta penonton," kata dia. Padahal, film Indonesia tengah dalam masa penurunan kualitas. Tahun lalu, hanya Sang Pencerah yang menyentuh angka tersebut.
Selain kualitas film yang buruk, Hanung menuturkan, persoalan lainnya adalah masih minimnya jumlah bioskop di Indonesia. Saat ini, Indonesia hanya memiliki 640 layar dan jumlah tersebut belum cukup menjangkau penonton di seluruh tanah air.
Sehingga, masih banyak penonton di daerah yang masih kesulitan menonton film karena terbatasnya jumlah bioskop di Indonesia. "Bahkan, tahun lalu untuk menjangkau penonton di daerah-daerah kami harus mendatangi langsung dan membuat layar tancap," kata Hanung.