Sabtu 31 Oct 2020 19:24 WIB

 Pemprov akan Ubah Rute LRT, PDIP: Anies Langgar Perpres

Anies mengurangi alokasi rute LRT yang dikelola Pemprov DKI dari 100 km jadi 23 km.

Rep: Nugroho Habibi/ Red: Agus Yulianto
Kereta api ringan (LRT) berada di lintasan LRT Jabodebek Cawang-Cibubur.
Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA
Kereta api ringan (LRT) berada di lintasan LRT Jabodebek Cawang-Cibubur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akan mengubah rute light rail transit (LRT). Perubahan rute tersebut terungkap di dalam paparan Dinas Perhubungan tanggal 22 Oktober 2020 lalu.

Dalam paparan Dinas Perhubungan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengurangi alokasi rute LRT yang akan dikelola oleh Pemprov DKI dari 100 kilometer (km) menjadi 23,2 km. Yakni, Kelapa Gading-JIS (Jakarta International Stadium) 8,2 km, Kelapa Gading-Velodrome 5,8 km, Velodrome-Klender 4,1 km, dan Klender-Pondok Bambu-Halim 5,2 km.

Selain itu, Anies akan menyerahkan rute Pulo Gebang-Joglo sepanjang 32,8 km kepada pihak swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha (KPDBU). Rute ini akan melalui Jalan Basuki Rahmat, Kampung Melayu, Jalan Prof. Dr. Satrio, Pejompongan, Palmerah, Bundaran Senayan, Permata Hijau, dan berakhir di Joglo.

Anggota DPRD DKI Fraksi PDIP Gilbert Simanjuntak menyebut, rute yang dibuat Anies tidak sesuai dengan Perpres nomor 55 tahun 2018 Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Menurutnya, perubahan tersebut merugikan Pemprov DKI.

"Di dalam Perpres, Pemprov DKI dapat rute LRT ke pusat-pusat aktivitas di tengah kota. Tapi, Pak Anies malah mengubah rute sehingga Pemprov DKI hanya dapat rute di pinggiran yang sepi penumpang, sedangkan swasta punya rute yang empuk ke tengah kota," ucap Gilbert melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (31/10).

Dia mempertanyakan, alasan perubahan rute tersebut. "Pak Anies ini kerja untuk Pemprov DKI atau untuk swasta?” ucapnya.

Berdasarkan Peraturan Perpres itu, Pemprov DKI ditugaskan untuk membangun LRT dengan panjang sekitar 100 kilometer. Yakni, Kelapa Gading-Velodrome 5,8 km, Velodrome-Dukuh Atas 9 km, Kemayoran - Kelapa Gading 21,6 km, Joglo-Tanah Abang 11 km, Puri Kembangan-Tanah Abang 9,3 km, Pesing-Kelapa Gading 20,7 km, Pesing-Bandara Soekarno-Hatta 18,5 km, Cempaka Putih-Ancol 10 km.

Selain itu, Gilbert mempertanyakan, besaran tarif jika pembangunan dan pengelolaan LRT diberikan kepada swasta. “Jika swasta yang mengelola, berapa tarifnya? Harga tarif harus terjangkau oleh rakyat kecil. Harga keekonomian tarif LRT berkisar Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu per orang," pintanya.

Anggota Komisi B itu menduga, jika dikelola swasta, nantinya hanya akan minta subsidi ke Pemprov DKI. Selain subsidi, Pemprov DKI juga harus mengeluarkan anggaran untuk pembebasan lahan dan biaya konstruksi.

"Belum lagi, Pemprov DKI harus kehilangan potensi pendapatan karena konsesi TOD (Transit Oritented Development) diberikan ke swasta. Kalau begini caranya, Pemprov DKI rugi berkali-kali,” ujarnya.

Gilbert menegaskan, pihaknya menolak usulan rute baru ini. Pasalnya, program LRT harus berorientasi pada pelayanan publik, bukan untuk cari keuntungan.

“Kenapa harus kasih ke swasta? Apakah karena biaya? APBD di pemerintahan sebelumnya lebih kecil, tapi bisa membangun depo dan jalur LRT. Jadi, ini bukan karena APBD tidak cukup, namun sepertinya ada deal-deal lain yang kita tidak tahu,” ujar Gilbert.

Pengamat Transportasi Publik Djoko Setijowarno mengatakan, LRT Jakarta akan terintegrasi di Dukuh Atas. Jika terealisasi, ia memprediksi, penumpang LRT akan kian banyak.

"Kan terintegrasinya di Tugu Atas. Tapi pembuangan sampai kapan? Itu yang tidak diketahui. Saya yakin pengguna LRT di sana makin banyak," jelas Joko.

Dia meminta, Anies untuk benar-benar mempertimbangkan dampaknya. Jangan sampai, pembangunan tersebut karena dilatarbelakangi bahwa LRT dibangun pada zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Nggak usah dilihat siapa yang mulai bangun, tapi dilihat dari transportasi makronya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement