REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemimpin Indonesia ke depan hendaknya lebih memfokuskan diplomasi ekonomi untuk membangun ketahanan nasional. Hal tersebut dinilai lebih relevan untuk kepentingan negeri di masa datang. Baik dalam konteks regional mau pun global.
Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, posisi Indonesia kini tidak lagi hanya sebatas negara penerima bantuan luar negeri (net receiver of aid).
Melainkan juga sebagai pemberi bantuan kepada negara-negara lain (giver of aid). "Meski pun bantuan yang kita berikan saat ini tidak lebih besar dibandingkan dengan yang kita terima dari luar negeri," kata Fithra kepada ROL, di Gedung DPD, Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (25/6).
Lewat diplomasi ekonomi yang tepat, katanya, Indonesia sebenarnya bisa membangun ketahanan nasional yang lebih tangguh. Caranya, dengan memberikan bantuan lebih banyak lagi kepada negara lain yang perkembangannya masih di bawah Indonesia.
Untuk poin ini, ia mengambil contoh negara-negara tetangga Asean seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. "Apa keuntungan yang bisa diambil kita dengan memberikan bantuan tersebut? Tentu saja ketergantungan mereka terhadap kita. Sehingga hubungan persahabatan kita dengan mereka pun akan semakin erat," ujarnya.
Lewat diplomasi ekonomi semacam ini, paparnya, negara penerima bantuan akan merasa lebih nyaman berhubungan dengan Indonesia. Dengan begitu, mereka pun tidak akan merasa terancam dengan keberadaan Indonesia.
"Diplomasi ekonomi inilah yang diterapkan Jepang. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, negara ini tidak lagi memiliki angkatan perang. Mereka pun kemudian melakukan investasi besar-besaran ke negara-negara tetangganya seperti Cina dan Korea untuk membangun ketahanan nasionalnya," kata Fithran.