REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan terhadap anak baik verbal maupun fisik masih menjadi tantangan besar perlindungan anak di Indonesia. Aksi perisakan di mana pelaku dan korbannya adalah anak-anak adalah persoalan serius.
Oleh karena itu, pemerintah diminta segera memformulasikan kebijakan dan strategi untuk menyelesaikan persoalan ini, terutama strategi mencegah anak menjadi pelaku perisakan. "Selama ini fokus kita kan bagaimana mencegah anak menjadi korban kekerasan, padahal yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana strategi kita mencegah anak menjadi pelaku kekerasan," ujar Wakil Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris, dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Ahad (23/7).
Dia menyebut, apabila sudah tidak ada lagi anak yang menjadi pelaku perisakan, maka dengan sendirinya aksi tersebut akan hilang. Fahira berharap peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini menjadi momentum untuk publik di Indonesi memikirkan hal itu.
Momentum HAN 2017, kata dia, hendaknya menjadi ajang bagi pemerintah untuk memaparkan berbagai persoalan dan isu-isu perlindungan anak, serta formulasi strategi mengatasinya kepada publik. Pemaparan ini penting karena persoalan perlindungan anak membutuhkan sinergi semua elemen bangsa, tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah. "Sampai sekarang saya belum dengar dan baca formulasi strategi seperti apa yang akan dijalankan pemerintah mencegah anak-anak kita menjadi pelaku bullying,” kata senator asal Jakarta ini.
Menurut Fahira, dalam konteks perisakan yang melibatkan anak-anak, pelaku juga merupakan korban dan dia punya hak untuk disadarkan. Selain itu, orang tua, sekolah, dan guru harus introspeksi, kenapa anak dan pelajar mereka bisa menjadi pelaku perisakan. Saat ini yang harus dilawan bersama adalah pandangan dan kondisi lingkungan keseharian anak-anak yang menganggap bahwa perisakan baik verbal maupun fisik adalah sesuatu yang biasa atau normal.
Perlawanan ini, kata dia, hanya bisa dilakukan orang-orang dewasa. Pasalnya orang dewasalah yang menciptakan suasana lingkungan sehari-hari yang dirasakan anak-anak. “Kita semua punya saham membuat anak-anak menjadi pelaku bullying. Makanya, apakah hukuman anak-anak pelaku bullying kemarin dengan dikeluarkan dari sekolah dan KJP-nya ditarik sudah tepat? Apakah ini murni kesalahan mereka? Di mana tanggung jawab guru, sekolah, dinas pendidikan, dan orang tua? Jangan semua kesalahan dilimpahkan ke anak-anak karena mereka juga korban,” jelasnya.
Ketua Gerakan Perlindungan Perempuan dan Anak ini mengatakan persoalan perisakan oleh pelajar sangat kompleks dan multidemensi sehingga penanganannya juga harus komprehensif. Saat ini, sudah banyak negara berhasil menekan aksi perisakan antara lain Inggris dan Finlandia. Pemerintah setempat memformulasikan cetak biru pendidikan antiperisakan yang berisi kerangka kerja terperinci sebagai landasan kebijakan, sasaran, strategi bahkan hingga kepada detail kegiatan serta teknis pelaksanaan di mana sekolah menjadi yang terdepan mengimplementasikannya.
“Hingga saat ini kita belum punya formulasi mencegah anak menjadi pelaku bullying. Saya harap kementerian terkait segera memikirkan hal ini,” ujar Fahira.