REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite IV dpd menggelar RDPU dengan pembahasan pengawasan atas pelaksanaan UU. No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Wakil Ketua Komite IV Ayi Hambali yang memimpin rapat tersebut menyampaikan koperasi saat ini masih jauh dari yang diharapkan.
"Ketika kami reses kemarin, banyak koperasi yang tinggal papan nama dan tidak ada kegiatannya, ada juga dilaporkan di kanwil koperasi itu tercatat tapi koperasi sudah tidak ada. Tata kelola koperasi juga masih jauh dari yang diharapkan,” katanya.
Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi Suroto mengatakan bahwa problem mendasar koperasi adalah Koperasi belum berkembang karena paradigma perkoperasian yang jauh dari pengertian koperasi yang benar, yaitu manusia ditempatkan sebagai yang utama. Dia memandang diskriminasi tehadap koperasi juga masih terjadi.
"Regulasi kita diskriminatif, contoh UU Rumah Sakit yang badan hukum RS privat harus PT. Di Washington itu poliklinik dan Rumah sakit bisa berdiri dan kepimilikannya atas nama koperasi, sedangkan di Indonesia kepemilikan RS itu harus dari PT,” ujarnya.
Selain itu di indonesia itu koperasi harus di bentuk minim 20 orang padahal dari regulasinya bisa dibentuk oleh 1 orang atau lebih. Menurut Suroto, kebijakan pemerintah harus dimulai dari proses rehabilitasi, karena 71 persen koperasi di indonesia itu hanya sebatas papan nama dan sisanya masih ada yang berupa rentenir berjubah koperasi. Suroto memandang koperasi juga harus bebas pajak.
"Para pengusaha besar malah dikasih tax holliday dimana investor dengan pengendapan dana 500 miliar," kata dia.
Sementara itu narasumber yang juga akademisi IPB Lukman Baga mengatakan UU 17 th 2012 dibatalkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan koperasi dan harus kembali uu no 25 th 1992 yang banyak terdapat ambiguitas. “Seharusnya digugat juga ke mahkamah konstitusi, soal beberapa pasal dari UU 25 tahun 1995, karena masih belum memenuhi kebutuhan perkopreasian Indonesia,” ucapnya.
Anggota DPD RI Dapil Jambi Daryati menyampaikan syarat menjadi anggota koperasi masih memberatkan. “Masuk koperasi mengharuskan ada simpanan wajib, nah kasihan masyarakat yang butuh dana tapi harus endapkan dana dulu, akhirnya mereka pinjam ke rentenir, mungkin ada solusi yang lebih baik khususnya buat masyarakat desa yang kurang mampu,” kata dia.
Sedangkan Anggota DPD RI Dapil Jatim Budiono, dirinya menyoroti dana desa yang melimpah di desa tapi tidak bisa digunakan oelh koperasi. “Posisi dana desa dengan peraturan yang ada harus bentuk bumdes yang harus PT, sehingga koperasi tidak bisa masuk. Dana yang relatif banyak di desa, itu tidak bisa dikelola koperasi, harus ada skema yang bisa digunakan,” kata dia.