REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kebudayaan segera memasuki tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR. Menurut Wakil Ketua Komisi X Ridwan Hisyam, RUU tersebut penting untuk memantapkan identitas kebudayaan nasional.
Kendati demikian, politikus Partai Golkar itu menekankan, RUU Kebudayaan tidak bermaksud menghilangkan keunikan budaya tiap suku di Indonesia. Identitas budaya Indonesia yang beragam akan terus dipertahankan.
Ridwan menjelaskan, RUU ini akan konsen pada upaya menghasilkan nilai tambah dari budaya. Pada 2019, sektor pariwisata ditargetkan menjadi penyumbang devisa negara terbesar, di samping sektor minyak dan gas (migas).
Dia menilai, kini sudah saatnya pariwisata Indonesia tidak sekadar “menjual” keindahan alam, melainkan juga kekayaan budaya. Untuk itu, keberagaman warisan budaya bangsa mesti diperkuat dan dilindungi oleh undang-undang.
Bentuk perlindungan itu disebutkan di dalam RUU Kebudayaan. Ridwan mencontohkan, tidak sedikit warisan budaya Indonesia yang diklaim negara asing. Misalnya, keris, batik, dan bahkan tari-tarian. Perlindungan hak cipta terhadapnya harus melalui aturan hukum positif.
“Nanti Malaysia bilang, mana buktinya bahwa batik itu punya kamu. Itu kan harus hukum. Enggak bisa katanya, katanya,” tegas Ridwan Hisyam saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (25/8).
Ridwan menambahkan, RUU Kebudayaan disusun dengan masukan dari pelbagai pakar budaya dan tokoh masyarakat. Termasuk, Sri Sultan Hamengkubuwono X yang menyarankan agar subtansi budaya maritim disertakan dalam draf regulasi ini.
Menurut Ridwan, usulan tersebut sesuai dengan Nawacita dan Trisakti yang menekankan, Indonesia sudah lama memunggungi laut. “Mengubah budaya kontinental menjadi budaya maritim ini juga tidak seperti membalikkan tangan. Padahal, negara kita ini dua per tiganya bahari, laut,” tukas dia.