REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ketua Panja RUU Pertembakauan DPR RI, Firman Subagyo menyambut baik langkah Presiden Joko Widodo terkait kelangsungan hidup para petani tembakau, para buruh tembakau, yang hidup dan bergantung pada industri tembakau. Menurut dia, kebijakan Jokowi yang disampaikan pada rapat terbatas kabinet tersebut, sejalan dengan semangat RUU Pertembakauan yang saat ini masih proses harmonisasi di Badan Legislasi DPR.
“Kami mendukung hasil rapat terbatas kabinet kemarin. Bahwa semangat RUU Pertembakauan sejalan dengan kebijakan Presiden Jokowi,” kata Firman, di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/06).
Firman mengatakan, RUU Pertembakauan sebagai salah satu Prolegnas Prioritas 2016 tujuannya melindungi keberlangsungan petani tembakau lokal. Salah satu permasalahan yang dialami petani tembakau adalah adanya impor tembakau. Data tahun 2013 menyebutkan, Indonesia defisit impor tembakau 240 ribu ribu ton/tahun.
Menurutnya, impor tembakau berimplikasi pada minimnya serapan tembakau dari para petani tembakau lokal. "Karena itulah, didalam RUU Pertembakauan akan kita atur mengenai pembatasan impor tembakau yang akan diatur secara gradual,” ujarnya.
Politisi senior Golkar itu menjelaskan, jika mengacu pada roadmap tembakau 2015-2020, kebutuhan tembakau setiap tahun makin meningkat volumenya. Misalnya, tahun 2015 total kebutuhan tembakau 434.753,27 ton. Tahun 2020, diperkirakan total kebutuhan tembakau sebanyak 599.322,92 ton.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Firman mengusulkan perlunya industri hasil tembakau (IHT) bekerjasama dengan para petani tembakau. Bentuk kerja sama itu, dengan melakukan pembinaan dan pengembangan budi daya semua jenis tembakau yang dijadikan bahan baku rokok.
“Kerja sama kedua belah pihak itu bertujuan agar para petani tembakau bisa memenuhi total kebutuhan tembakau bagi IHT,” ucapnya.
Mengenai sikap Jokowi yang tidak buru-buru menandatangani ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) demi kepentingan nasional, Wakil Ketua Baleg ini pun mengapresiasinya. Firman menyatakan, jika aksesi FCTC dilakukan Pemerintah, maka akan berpotensi melanggar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana mandat Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200 A (XXI), tertanggal 16 Desember 1966.
Dalam bidang ekonomi, lanjut dia, adalah pelarangan untuk hidup layak melalui pertanian dan usaha produksi, distribusi produk tembakau. Dalam bidang sosial, yaitu upaya penghilangan kretek yang telah membentuk relasi antarmasyarakat. FCTC bertentangan demokrasi karena dalam membuat aturan tidak mengakomodasi kepentingan objek yang diatur.
"Dalam bidang budaya, kretek sebagai heritage terancam keberadaannya,” paparnya.