REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR Rieke Dyah Pitaloka menilai korban kekerasan seksual tidak bisa dibedakan. Sebab, selama ini ada dikotomi korban kekerasan seksual antara anak-anak, orang dewasa, atau apakah itu perempuan maupun laki-laki.
"Ada persoalan kekerasan seksual yang kerap kali terjadi, tapi tidak bisa dikotomikan, karena bisa terjadi dimana saja dan kepada siapa saja," kata Rieke, dalam sebuah diskusi, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/6).
Menurutnya, saat ini banyak kasus dimana korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan. Tapi juga maraknya kekerasan kepada laki-laki.
Rieke menambahkan, dengan angka kekerasan seksual yang tinggi di Indonesia, maka butuh perangkat hukum yang lex spesialis atau bersifat khusus. Selama ini, aparat menggunakan KUHP untuk menghukum pelaku, tapi itu tidak mencukupi. Begitu juga dengan UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang hanya mengatur hal-hal tertentu saja.
"Sehingga, dibutuhkan aturan yang khusus mengenai ini seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Karena sudah darurat kekerasan seksual," ujar Rieke.
RUU PKS dinilai bisa mencegah terjadinya fenomena gunung es, dimana dalam banyak kasus kekerasa seksual kerap kali berakhir damai. Rieke mengungkapkan, substansi RUU PKS definisi akan lebih luas menjelaskan kekerasan seksual itu apa.
Karena itu, RUU ini perlu menjadi perhatian bersama, karena Indonesia menjadi seperti negara terbelakang dalam hal penegakan hukum. Padahal, di negara maju sudah tegas dan jelas hukuman terhadap pelecehan dan kekerasan seksual.
RUU ini, lanjut Rieke, juga mesti mengatur bagaimana tentang pencegahan dari lembaga negara dan birokrasi yang ada. Pemidanaan juga harus dibagi beberapa kategori, tidak bisa sanksi disamakan antara orang dewasa dan anak-anak.