REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menilai banyak sektor industri yang hancur bila wacana kenaikan harga rokok diterapkan. Industri hulu hingga hilir akan mengalami guncangan hebat. Sebab, kata dia, rokok sudah jadi kebutuhan primer bagi para perokok. Bila kebutuhan primer dinaikkan harganya, tidak saja memunculkan kemiskinan, tapi juga kriminalitas.
Menurut dia, wacana menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu per bungkus, bisa mematikan industri perkebunan tembakau, pupuk, manufaktur, hingga mematikan kios-kios rokok kecil. “Merokok sudah jadi budaya nenek moyang kita sejak zaman kerajaan. Jangan sampai budaya ini hilang. Bahkan, mestinya kita bisa mengekspor tembakau,” ujar Bambang, Selasa (23/8).
Anggota F-Gerindra ini mengatakan cukai rokok menempati pos penerimaan negara paling tinggi dalam APBN. Semuanya, kata dia, bersumber dari konsumen rokok kelas menengah ke bawah. Jumlah perokok aktif mencapai 40 persen dari penduduk. Sekitar 80 persen dari mereka adalah kelas menengah ke bawah. Sisanya kelas atas.
Bila harganya dinaikkan, sambung Bambang, tidak serta merta menghentikan kebiasaan merokok. Para perokok tetap akan mempertahankan tradisi merokoknya walau harganya mahal. Dan yang rawan adalah ketika perokok kelas bawah tak mampu membeli rokok lagi. Menurut dia, kemungkinan besar, mereka akan melakukan kriminalitas agar tetap bisa merokok.
“Jadi, pemerintah jangan kalap atau bingung dengan manaikkan harga rokok, karena tak bisa menyukseskan pendapatan dari tax amnesty. Subsidi BBM dan listrik bagi rakyat sudah dicabut. Jangan menambah kesulitan baru bagi rakyat kecil,” kata Bambang.