Wacana Kenaikan Harga Rokok Dinilai Blunder

Selasa , 23 Aug 2016, 17:00 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan.
Foto: DPR
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menilai pemerintah tidak bijak, dengan menghembuskan wacana menaikkan harga rokok Rp 50 ribu per bungkus. Menurut dia, ini merupakan bentuk frutrasi pemerintah dalam mengejar pendapatan untuk APBN yang kini mengalami kebuntuan.

Heri mengatakan wacana ini menciptakan kegaduhan baru. Diawali dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (PKEKK), Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, yang kemudian menjadi viral di medsos.Hasil penelitian ini kemudian diambil sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan.

“Kebijakan menaikkan harga rokok menjadi Rp 50 ribu (naik lebih dari dua kali lipat) yang didasarkan pada satu hasil penelitian yang bisa dengan mudah diplintir adalah sebuah proses pengambilan kebijakan yang tidak bijaksana. Lebih-lebih, kebijakan itu disusun atas dasar viral yang terkesan nyeleneh di Medsos. Mestinya, proses pengambilan suatu kebijakan itu harus memperhatikan banyak faktor, terutama sekali dampak sosial-ekonomi masyarakat,” kata Heri.

Menurut dia, kebijakan ini bisa jadi blunder bagi Presiden Joko Widodo. Hasil penelitian tersebut perlu pendalaman kembali dengan semua pemangku kepentingan. Menurut politisi Partai Gerindra itu, kebijakan menaikkan harga rokok dicurigai sarat kepentingan.

Bila kenaikan harga rokok benar-benar diterapkan, dampaknya sangat luas dan sistemik. Mulai dari rusaknya struktur industri rokok, terancamnya petani tembakau, hingga ledakan pengangguran yang berujung pada munculnya kelompok miskin baru.

Heri menolak keras rencana kenaikan ini. Sebab, kelak akan banyak pabrik rokok tutup, terutama rokok kretek yang sebetulnya sudah sangat tertekan oleh serbuan rokok luar. Terganggunya struktur industri rokok, kata Heri lagi, sudah pasti akan berdampak pada penerimaan cukai dalam APBN. Tahun 2015 saja, tercatat penerimaan cukai sebesar Rp 144,6 triliun (96,4 persen adalah sumbangan dari cukai rokok). Ini jauh lebih tinggi dari kontribusi deviden BUMN yang hanya mencapai Rp 37 triliun.

“Tanpa dinaikkan saja, penerimaan cukai rokok sudah mulai menurun akibat berbagai kebijakan yang ada, termasuk peredaran rokok ilegal yang sudah mencapai 11,7 persen yang sudah merugikan negara sekitar Rp 9 triliun. Akibatnya, penerimaan cukai di kuartal I-2016 turun 67 persen dari kuartal I-2015 atau menjadi hanya Rp 7,9 triliun dari yang tadinya sebesar Rp 24,1 triliun," kata dia.

Menurut dia, kenaikan harga rokok tidak otomatis membuat perokok berhenti merokok. Yang paling mungkin para perokok itu akan beralih ke rokok ilegal. Dan peredaran rokok ilegal naik drastis. Ini jadi masalah baru lainnya. Untuk itu, pemerintah perlu mengkaji secara komprehensif kebijakan tersebut. Plus-minusnya harus dilihat secara hati-hati dan mendalam. Jika tujuannya menaikkan penerimaan cukai 2017 yang ditargetkan sebesar Rp 157,16 triliun, harusnya tidak jadi bumerang. Seperti diketahui cukai hasil tembakau ditargetkan sebesar Rp 149,88.