REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesatnya kemajuan teknologi informasi berdampak bagi berkembangnya dunia informasi dan transaksi elektronik. Dunia informasi dan transaksi elektronik (ITE) telah menjadi corong dalam menyalurkan salah satu hak asasi manusia, yaitu hak menyatakan pendapat.
Saat ini masyarakat dapat menyatakan pendapatnya secara bebas. Namun kebebasan ini terbatasi oleh kepentingan orang lain. Ketika masyarakat menyuarakan sesuatu yang dianggap menghina atau mencemarkan nama baik seseorang, maka ia berpotensi terkena ancaman sanksi UU ITE.
Anggota Komisi I DPR Sukamta mengatakan yang menjadi persoalan adalah pasal soal pencemaran nama baik sangat berpotensi disalahgunakan yang menyebabkan banyak netizen menjadi korban. Hal ini lah yang kemudian menjadi salah satu faktor pendorong perlunya revisi UU ITE. Hari ini, DPR pun mengesakan Rancangan Undang-Undang tentang perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Elekronik (RUU ITE).
Adal beberapa hal yang patut diperhatikan dalam UU ITE. Pertama, keamanan data pribadi merupakan hal yang penting sebagaimana termaktub dalam Pasal 26 Perubahan UU ini. "Antisipasi terhadap kebocoran data pribadi yang tidak dikehendaki oleh seseorang mutlak untuk dilakukan. Hal ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap hak-hak pribadi warga negaranya," ujarnya, Kamis (27/10).
Kedua, mendorong agar penerapan Pasal 27 ayat 3 dalam perubahan Undang-Undang ini tentang pencemaran nama baik dilakukan dengan cermat, hati-hati dan profesional oleh aparat penegak hukum. Sehingga, hak menyatakan pendapat oleh masyarakat tidak terganggu sedikit pun sekaligus juga masyarakat terlindungi dari pendapat yang berpotensi mencemarkan nama baik individu atau institusi.
Sanksi pidana yang dikurangi dari maksimal enam tahun penjara menjadi maksimal empat tahun penjara menyebabkan pencemaran nama baik menjadi tindak pidana ringan. Karena dengan begitu si netizen yang dilaporkan atau diadukan telah melakukan pencemaran nama baik, tidak langsung ditahan sampai pengadilan memutuskan.
Ketiga, intersepsi (penyadapan) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum harus diatur dalam Undang-Undang khusus beserta pengaturan teknisnya yang menjunjung tinggi prinsip taat asas, prosedural, hak asasi manusia dan good governance. Selain itu, hal ini juga merupakan amanat Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 5/PUU-VIII/2010 sehingga intersepsi memiliki acuan yang seragam meskipun lembaga-lembaga tertentu seperti BIN, Polri, KPK memiliki hak menyadap secara khusus.
Keempat, penting untuk menggalakan gerakan internet sehat. Oleh karena itu, pemutusan akses terhadap konten ilegal menjadi sangat penting. Para pemangku kepentingan harus cermat menentukan indikator konten yang disebut ilegal dan secara masif disosialisasikan sehingga masyarakat mampu mengenali mana konten yang sehat dan mana yang tidak.
Kelima, penyidikan, penggeledahan, penahanan, penyitaan maupun penangkapan harus sesuai dengan proses pemeriksaan yang diatur oleh KUHAP. Hal ini untuk memberikan kejelasan prosedur bagi para penyidik sekaligus menjamin hak-hak hukum terduga atau tersangka. "Kami sudah berusaha maksimal untuk memberi jalan tengah terbaik bagi masyarakat dan bangsa dengan melakukan perubahan dalam UU ITE ini. Semoga hal ini bermanfaat untuk kemajuan masyarakat dan bangsa," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.