REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI Ecky Awal Mucharam menilai realisasi penerimaan perpajakan yang masih jauh dari target yang telah ditetapkan di APBN (shortfall) pada tahun 2016 ini, akan berisiko bagi keuangan negara. Kondisi tersebut, kata Ecky, membuat kondisi keuangan menjadi mengkhawatirkan karena realisasi penerimaan perpajakan hingga akhir tahun dinilai hanya kurang dari 85 persen dari target di APBN.
“Saya kira ini adalah kinerja yang buruk, padahal pemerintah sudah gunakan Pengampunan Pajak (tax amnesty) juga. Tertangkap tanggannya petugas pajak oleh KPK juga memunculkan pertanyaan publik akan efektifitas reformasi pada institusi perpajakan kita,” kata Ecky, Senin (5/12).
Berdasarkan data realisasi pajak per 31 Oktober 2016, penerimaan perpajakan baru mencapai Rp 986,6 triliun atau 64,1 persen dari target APBN 2016, yaitu sebesar Rp 1.539,2 triliun. Realisasi pajak tersebut sedikit lebih baik dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya senilai Rp 893,9 triliun dari Rp 1.489,3 triliun atau sebesar 60 persen.
Ecky menambahkan, jika benar prognosa penerimaan perpajakan tahun 2016 hanya di kisaran 85 persen, hal ini akan mengulang kondisi tahun sebelumnya. Ecky memberikan catatan khusus atas tidak tercapainya target penerimaan perpajakan tahun 2015, yang hanya tercapai sebesar 83,2 persen atau setara dengan Rp1.240 triliun dari target APBNP 2015. Hal ini lebih rendah dari pencapaian penerimaan perpajakan tahun 2014 yang mencapai 92,04 persen, dan 2013 yang mencapai 93,81 persen serta tahun 2012 yang mencapai 94,4 persen.
Dampak lain yang signifikan ke depan menurut Ecky adalah risiko pemotongan anggaran akan berulang. Diketahui, sepanjang tahun 2016, pemerintah telah melakukan pemangkasan anggaran dengan total Rp 137,6 triliun, yang terdiri dari transfer daerah dan dana desa sebesar Rp 72,9 triliun dan anggaran kementerian dan lembaga senilai Rp 64,7 triliun.