REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Fikri Faqih mengaku prihatin atas terulangnya kasus buku pelajaran anak berkonten pornografi. Hal itu menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas peredaran buku pengetahuan, khususnya bagi anak yang sesuai dengan usianya (SD).
“Sudah ke sekian kalinya pemerintah terus kecolongan, kami curiga bila ini seperti disengaja oleh pihak-pihak yang bermaksud buruk," ujar Fikri Faqih di Jakarta, Jumat (24/2).
RUU Sistem Perbukuan Hampir Rampung
Kasus terbaru mengenai buku anak berkonten porno itu diterbitkan oleh Penerbit Tiga Ananda, Solo, dimana sebagian besar dalam bentuk buku pelajaran SD. Masyarakat pun telah mengajukan protes atas hal ini.
Sebelumnya, pada Februari 2016, Kota Malang juga dihebohkan dengan sampul Lembar Kerja Siswa (LKS) bertuliskan aksara Jawa yang jika diartikan adalah alat kelamin pria. LKS tersebut sempat tersebar di beberapa SD swasta dan negeri di Kota Malang. Dinas Pendidikan Kota Malang pun langsung memerintahkan seluruh SD untuk menarik LKS tersebut.
Mei 2016, para orang tua SD di Nganjuk, Jawa Timur, pun resah dengan adanya buku pelajaran Bahasa Jawa untuk kelas VI SD yang mengandung unsur pornografi. Diduga, buku ini telah menyebar di seluruh SD di Nganjur dan dipergunakan untuk para siswa.
“Serentetan kasus buku pelajaran dengan konten pornografi ini seharusnya segera ditelusuri secara serius dan dan diberi sanksi yang berat bila diketahui dengan sengaja dilakukan. Karena ini, terjadi pada buku khusus anak-anak yang belum siap secara usia,” kata dia.
Fikri juga mengusulkan adanya sebuah Dewan Pengawas Perbukuan yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Salah satu tugasnya adalah merumuskan konten buku yang sesuai dengan nilai-nilai budaya, moral, dan etika bangsa.
“Sebelumnya, usul adanya Dewan Pengawas Perbukuan sudah muncul dalam Daftar Isian Masalah (DIM) versi DPR, namun ini ditolak pemerintah. Pemerintah beralasan karena pembentukan ini dapat boros APBN dan pembagian kewenangan urusan pemerintah sudah terbagi habis,” kata Fikri.
Di sisi lain, proses pengawasan sistem perbukuan dalam RUU tersebut pun masih bersifat normatif. Yaitu, pelibatan pemerintah pusat, daerah, masyarakat, ditambah kejaksaan.
“Saya kira kejaksaan tidak akan fokus karena tugasnya yang sudah terlalu banyak. Sehingga, harus ada pihak khusus yang bertanggung jawab atas konten buku-buku yang dikonsumsi oleh anak-anak,” ujar Fikri.