REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Komisi X DPR RI melakukan uji publik RUU tentang Pemajuan Kebudayaan di Gedhong Pracimosono, Kepatihan Yogyakarta, Rabu (5/4). Dalam Uji Publik ini dihadiri Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten/kota se DIY, maestro penggiat kebudayaan dan lain-lain.
Menurut Pimpinan Ketua Panja RUU tentang Pemajuan Kebudayaan Komisi X DPR RI Ferdiansyah, RUU Pemajuan Kebudayaan telah diselesaikan baik draf maupun penjelasannya. Pengusulan RUU Pemajuan kebudayaan sudah berlangsung sejak tahun 1982 dan dibahas di DPR RI baru tiga periode.
"Kami punya komitmen dan pemerintah menginginkan cepat diketok. Mudah-mudahan bulan April diketok," ujarnya.
Sebelum disahkan, DPR RI membuka ruang dan akses kepada Pemda, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh adat dan pemangku kepentingan untuk memberikan masukan agar bisa direalisasikan dalam UU Pemajuan Kebudayaan.
RUU ini ada Sembilan bab dan 62 pasal. Kesembilan bab tersebut adalah: Bab I ketentuan umum, Bab II Pemajuan, Bab III Hak dan kewajiban, Bab IV. Tugas dan Wewenang, Bab V Pendanaan, Bab VI Penghargaan, Bab VII Larangan, Bab VIII Ketentuan Pidana, Bab IX Penutup.
Dalam sambutannya Gubernur DIY berharap UU Pemajuan Kebudayaan yang sudah sejak 35 tahun didialogkan dan tidak pernah selesai tahun ini bisa disahkan. Sultan berharap RUU Pemajuan Kebudayaan perlu dan penting segera disahkan.
"Karena menjadi panduan daerah dalam membuat Rancangan Peraturuan Daerah dan di Yogyakarta Peraturan Daerah Istimewa, bagaimana pun daerah juga punya potensi itu dengan sadar bisa kita bangun menjadi Perda masalah-masalah kebudayaan. Harapan kami juga bisa membangun peradaban baru dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial dan modern yang tidak lepas dari konteks kearifan dari segenap masyarakat dengan latar belakang apapun," kata Sultan.
Dalam dialog ini Gubernur DIY mengambil alih menjadi moderator. Dari isi RUU Pemajuan Kebudayaan yang telah dipaparkan Ketua Panja Komisi X DPR RI, Sultan menyimpulkan bahwa pada prinsipnya RUU Pemajuan Kebudayaan tidak mengatur masalah kebudayaan, tetapi membuat rambu-rambu. RUU tersebut memerintahkan kepada Pemda untuk menginventarisasi potensi kebudayaan yang tangible dan integible, dan mengatur sepenuhnya bagaimana melestarikan,mengembangan semua masalah yang terkait hal itu
Yang dimaksud dalam RUU Pemajuan Kebudayaan adalah kebudayaan tangible dan intangible merupakan wewenang daerah. Dengan itu dimungkinkan ada pendanaan dan sebagainya. "Jadi dalam dialog di sini kita tidak membahas tangible dan intangible, baik karya fisik maupun non fisik," katanya.