REPUBLIKA.CO.ID, BOJONEGORO -- Wakil Ketua Komisi X DPR Sutan Adil Hendra menuturkan pengalihan kewenangan SMA dan SMK ini memerlukan koordinasi yang intensif antara pemerintah kabupaten atau kota dengan pemerintah provinsi. Pascaditetapkannya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang mulai berlaku tahun 2016, pengalihan kewenangan pengelolaan pendidikan menengah yaitu SMA dan SMK dari kabupaten atau kota ke provinsi, resmi diberlakukan.
“Dengan adanya pengambilalihan wewenang pendidikan menengah ini, kita mendapat gambaran, bahwa ada permasalahan yang sungguh sangat mendasar, yakni pembiayaan dan tenaga pendidik. Sehingga perlu adanya koordinasi yang intensif,” kata Sutan, saat memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi X DPR ke Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, Kamis (8/6).
Terkait pembiayaan, lanjut Sutan, dengan adanya pengalihan kewenangan ini, sebelumnya dengan berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebenarnya tidak ada kendala berarti. Bahkan banyak kabupaten atau kota yang mampu menyelenggarakan pendidikan menengah secara gratis.
“Menyangkut pembiayaan, sekolah yang selama ini menjadi wewenang kabupaten dan kota bisa digratiskan, karena diambil oleh provinsi, tidak bisa mengambil kebijakan pendidikan menengah gratis. Sehingga menjadi kerepotan,” kata Sutan.
Seiring dengan kebijakan pengalalihan ini, politisi F-Gerindra itu menilai perlu adanya keleluasaan atau regulasi, sehingga kabupaten atau kota punya kewenangan kembali untuk menganggarkan, terutama terhadap sekolah pendidikan menengah, yakni SMA dan SMK.
Kendala lain yang muncul, diantaranya kabupaten atau kota tidak dapat lagi mengalokasikan dana untuk pendidikan menengah, dan tidak dapat mewujudkan kurikulum muatan lokal yang memperhatikan kekhususan dan keragaman, termasuk masalah tenaga pendidik.
Bupati Bojonegoro Suyoto mengatakan, pengalihan penanggung jawab pengelolaan pendidikan menengah dari kabupaten ke Provinsi, tidak mengubah komitmen Pemkab Bojonegoro terkait pelaksanaan pendidikan warganya, karena sebagian besar yang bersekolah di SMA/SMK/SLB adalah warga Bojonegoro.
“Sebagai bagian Gerakan Ayo Sekolah yang mewajibkan warga Bojonegoro untuk menuntaskan pendidikan menengah atas, bahkan kami canangkan menjadi wajib Belajar 14 tahun,” kata Suyoto.
Menurut Suyoto, yang menjadi tantangan dengan adanya kebijakan ini adalah mempertahankan mutu pendidikan dan kejujuran di semua SMA/SMK tersebut membutuhkan usaha dan koordinasi yang tepat. Kemudian, potensi masalah pada pengelolaan yang terkait dengan aset, personil, pengelolaan dana BOS, DAK serta DAU yang harus dapat dimonitor atau dikendalikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur melalui UPT/ Cabang Dinas Pendidikan Provinsi Jatim di Bojonegoro.