REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifah menilai Permendikud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah kurang memperhatikan faktor sosial budaya. Hal itu mengomentari kebijakan lima hari sekolah (LHS) yang rencananya akan diterapkan pada tahun ajaran 2017/2018 pada sekolah yang siap.
"Perhatikan faktor sosial kultural lain," kata dia dalam diskusi Ribut-ribut Fullday School di Jakarta, Sabtu (17/6).
Ia mencontohkan, tidak sedikit keluarga di Indonesia yang masih butuh bantuan anak-anaknya untuk menunjang perekonomian keluarga. Salah satunya, yakni meminta bantuan anak menjaga warung sepulang sekolah."Ini kan bagian keterlibatan anak pada keluarga. Bukan dipekerjakan, tapi bagian dari usaha yang dilakukan bersama keluarga," kata dia.
Selain itu, ia melanjutkan, ada juga anak yang harus membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai nelayan atau pemulung. Sehingga, menurutnya, pemerintah tidak bisa membuat peraturan Jawa Sentris.
Dia mengatakan, salah satu kesimpulan usai rapat dengar pendapat dengan Mendikbud Muhadjir Effendy beberapa waktu lalu, Komisi X DPR meminta regulasi itu harus dikaji ulang. Pun kalau dipaksakan untuk diterapkan, maka harus opsional.