REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Anggota Panja Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN DIKTI) Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dadang Rusdiana mengutarakan masih tingginya disparitas (perbedaan) antara Perguruan Tinggi (PT) di Jawa dengan luar Jawa terkait SN DIKTI. Di provinsi Kepulauan Riau (Kepri) persoalan disparitas antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dengan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) disebabkan antara lain kualitas dan jumlah dosen, minimnya sarana dan prasarana (sarpras) serta rendahnya minat riset dan penelitian.
“Kekurangan dosen perlu segera diselesaikan dengan redistribusi dosen-dosen berkualitas dari Jawa yang berlebih (surplus) ke Kepri,” kata Dadang di sela-sela Kunjungan Kerja Spesifik Panja SN DIKTI ke Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (15/6).
Politikus Hanura ini juga menerima masukan dari hasil pertemuan dengan beberapa Rektor di Batam bahwa akreditasi PTS di Kepri rendah masih C rata-rata disebabkan jumlah dosen S2 yang belum terpenuhi, juga masalah sarana dan prasarana. Selama ini hanya PTN yang mendapat bantuan sarpras dari pemerintah, sedangkan PTS yang berprestasi sering kali masih dianaktirikan.
“Akreditasi PT seperti siklus kemiskinan, berputar-putar terus, PT yang akreditasi C sulit beranjak karena memang kesulitan dan punya problem minimnya sarpras sehingga perlu bantuan, sementara pemerintah membuat regulasi PTS yang bisa memperoleh bantuan hibah sarpras harus memiliki akreditasi B,” ujar Dadang.
Politikus daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat II ini menekankan perlunya perubahan regulasi agar tidak menciptakan ketidakadilan dalam proses akreditasi PT. Panja SN DIKTI punya peran penting untuk mengevaluasi. Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Agung Dhamar Syakti membeberkan masalah standar sumber daya manusia (dosen) sekitar 5.000 dosen statusnya masih P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Pihaknya berharap Panja SN DIKTI Komisi X DPR mendorong pemerintah segera disahkan Keppresnya.
“Dosen yang diperbantukan dari PTN juga tidak bisa membantu dalam proses akreditasi, padahal sehari-harinya sudah berjibaku di kampus tersebut, kebijakan seperti ini juga perlu ditinjau ulang untuk mendorong percepatan akreditasi yang berkeadilan,” kata Agung.