REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menilai salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah penegakan hukum yang lemah. Dalam penegakan hukum masih dirasakan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
"Masyarakat merasakan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas," kata Mahyudin dalam pengantar ketika membuka Sosialisasi Empat Pilar MPR di Universitas Dehasen Bengkulu, Kamis (5/10). Sosialisasi yang diikuti ratusan mahasiswa Universitas Dehasen menghadirkan dua orang narasumber yaitu Hetifah (anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar) dan M. Toha (Fraksi PKB).
Mahyudin mengakui masyarakat merasakan adanya penegakan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Ia mencontohkan, ketika menghukum orang yang punya kekuasaan sangat sulit tapi sebaliknya hukum langsung dijatuhkan pada rakyat kecil yang mencuri ayam.
Kepada para mahasiswa, Mahyudin menjelaskanhukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum positif. Dalam hukum positif ada asas praduga tak bersalah. Dengan asas ini seorang tersangka belum tentu bersalah sampai hakim memutuskan seorang tersangka atau terdakwa bersalah. Karena itu ada proses praperadilan. "Karena seorang tersangka belum tentu bersalah. Tapi kadang masyarakat berkehendak orang yang menjadi tersangka pasti bersalah," ujarnya.
Mahyudin sempat menyinggung proses pra-peradilan untuk status tersangka pada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto. Untuk menjadi tersangka harus diperkuat dengan dua alat bukti. Sepanjang belum menemukan alat bukti yang cukup maka seseorang tidak bisa dijadikan tersangka. Ketika menang dalam pra-peradilan maka seseorang tidak bisa dijadikan tersangka karena tidak memiliki alat bukti yang cukup.
Mahyudin berpendapat Cepi Iskandar, Hakim Tunggal pada pra-peradilan Setya Novanto, sudah menjalankan tugas secara profesional. "Dia (Hakim Cepi Iskandar) tidak terpengaruh apa-apa. Tidak ada orang yang kebal hukum di negeri ini. Harus ada sedikitnya dua alat bukti untuk menjadikan seorang tersangka," kata Mahyudin
Selain masalah penegakan hukum yang lemah, Mahyudin juga menyebutkan masalah kebangsaan lainnya seperti pemahaman agama yang sempit, masih adanya fanatisme kedaerahan, kurangnya pemahaman atas kemajemukan bangsa, kurangnya keteladanan, pengaruh negatif globalisasi.
"Itulah tantangan-tantangan kebangsaan yang melatarbelakangi MPR melakukan Sosialisasi Empat Pilar MPR. Dengan sosialisasi Empat Pilar MPR kita menghadapi tantangan internal dan eksternal itu," ujarnya.