REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia (Timwas TKI) dan Pemerintah sepakat dalam perlindungan TKI, tidak bisa mengabaikan validasi dan akurasi data kependudukan. Ketua Timwas TKI Fahri Hamzah menegaskan soal database tentang kewarganegaraan akan segera dituntaskan. Oleh sebab itu, dia menekankan kepada Kementerian Dalam Negeri harus lebih konkret, karena basisnya ada pada proyek e-KTP.
Perlindungan TKI berbasis validasi dan akurasi data warga negara itu menjadi sorotan penting dalam rapat kerja Timwas TKI. Rapat dilakukan dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM dan ketua BNP2TKI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (21/3) lalu.
“Ini terkait pembangunan sistem nasional, jangan sampai bobol sistemnya itu. Bobol dalam pengertian datanya tidak jelas, rakyatnya ada berapa, yang di luar negeri ada berapa, yang menjadi pekerja migran ada berapa, di negara mana ada berapa. Itu semua harus kita update, melacak pekerja kita itu betul-betul tanggung jawab negara. Karena Undang-Undang Dasar kita mengamanahkan melindungi segenap bangsa Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah,” beber Fahri seperti dalam siaran persnya.
Dari pihak Kemendagri juga menyadari database kependudukan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan perlindungan pegawai migran Indonesia. Perwakilan Mendagri melaporkan, soal database kependudukan, dalam perekaman sudah 97 persen. Selain itu, untuk kepentingan pekerja migran Indonesia, Kemendagri sudah tanda tangan MoU sharing database kependudukan untuk perlindungan pekerja migran Indonesia.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menjelaskan pemerintah terus melakukan pengawalan, dan mengambil langkah-langkah yang optimal untuk perlindungan pada TKI. Dia menyampaikan di Saudi Arabia ada 102 kasus TKI yang terancam hukuman mati, 79 orang di antaranya berhasil dibebaskan pemerintah dari hukuman mati, ada 3 orang yang dieksekusi, dan 20 orang yang sedang dalam proses.
“Jadi intinya pemerintah melakukan langkah yang optimal. Bahkan untuk kasus Zaini Misrin, langkah pemerintah ini sudah extraordinary, karena ini menjadi kali pertama kita mengajukan peninjauan kembali dari keputusan yang sudah inkrah di tingkat kasasi. Jadi kasus-kasus yang tersisa akan terus ditangani pemerintah,” papar Hanif.