REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Petani di beberapa daerah mengalami panen raya, salah satunya di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Hasil dari panen petani rata-rata mengalami kenaikan sekitar 10 persen. Perinciannya, dari 5,5 ton per hektare pada tahun lalu menjadi 6,1 ton per hektare pada tahun ini. Namun anehnya, pemerintah justru mengimpor beras.
Menanggapi kebijakan ini, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi mempertanyakan langkah pemerintah. Dia mengkritisi pemerintah yang kembali melakukan impor beras 500 ribu ton. Padahal, menurut Viva, selama ini Kementerian Pertanian menyampaikan stok beras surplus.
“Bahkan komoditas beras premium dan jagung diklaim telah diekspor. Jika beras surplus, mengapa pemerintah impor beras 500 ribu ton lagi?” kata Viva dalam keterangan persnya, Jumat (18/5).
Kritikan tersebut didasari importasi kedua sepanjang tahun ini, bertepatan masa panen di beberapa daerah masih berlangsung. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, pemerintah akan kembali membuka keran impor beras 500 ribu ton. Dengan begitu, total impor beras tahun ini mencapai satu juta ton. Impor beras pertama sebesar 500 ribu ton dilakukan pada Januari 2018.
Viva pun mempertanyakan alasan pemerintah mengimpor lagi 500 ribu ton beras. Menurutnya keputusan impor ini tak sinkron dengan pengakuan Kementan yang menyatakan beras surplus. Kejanggalan lain adalah cadangan beras pemerintah (CBP) minus 27 ribu ton. Padahal pemerintah mengklaim stok beras surplus.
Menurut politikus PAN itu, impor beras di tengah panen raya saat ini, mengakibatkan harga gabah petani terus mengalami penurunan. Untuk gabah kering giling (GKG), harganya kini Rp 4.400 per Kg. Padahal, saat awal panen, harga GKG masih Rp 4.800 per Kg.