REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, Pansus DPR RI yang merumuskan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU Terorisme) sedang membangun konstruksi hukum yang baru. Selain ada konten pencegahan, juga ada tim pengawas, pemulihan korban, dan keterlibatan TNI.
Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi’i mengemukakan hal ini di sela-sela Rapat Tim Perumus RUU Terorisme di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5). Pada UU 15/2003 kontennya hanya memuat penindakan. Hal ini sudah tak cukup lagi menampung kebutuhan hukum terkini.
“Padahal, kita tahu penindakan ini tidak bisa menyelesaikan masalah. Selalu ada reproduksi teroris-teroris baru. Maka kita bangun konstruksi yang baru,” katanya.
Pencegahan adalah isu penting dalam RUU Terorisme tersebut. Pencegahan yang dimaksud bisa berupa kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Dengan aksi pencegahan, mereka yang terpapar atau terhasut para teroris, bisa mengurungkan niatnya melakukan teror di tengah masyarakat.
Sementara soal pelibatan TNI, Romo, begitu M Syafi’i akrab disapa, RUU yang sedang dibahas ini telah membuka pintu. Sementara, teknis pelibatannya diatur dalam Peraturan Presiden. TNI juga penting dilibatkan, karena skala gerakan terorisme terus meningkat.
Konstruksi lainnya dalam RUU ini adalah dibentuknya tim pengawas. Pengalaman lalu, sering kali terjadi abuse of power dalam penanganan terorisme.
Tim pengawas inilah yang kelak akan memantau sejauh mana konsistensi aparat di lapangan dalam memerangi terorisme. Penegakan HAM tetap harus dikedepankan.
Yang juga tak kalah pentingnya adalah pemulihan korban terorisme. Pada UU 15/2003 korban terorisme hanya mendapat kompensasi dan restitusi. “Di UU yang baru ini kita buat lebih detail. Selain pemulihan medis, ada pemulihan psikososial, pemulihan psikologi. Kompensasi dan restitusi tetap tidak dihilangkan. Semua korban teroris adalah tanggung jawab negara,” kata Romo.