REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketergantungan tak hanya identik dengan penyalahgunaan obat-obatan terlarang atau narkoba. Kalangan medis berkeyakinan, ketergantungan rokok lebih berat ketimbang narkoba.
Menurut Pengajar Departemen Kardiologi dan Vaskuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dr. H. Aulia Sani, SpJK(K), untuk melepaskan diri dari ketergantungan kokain atau morfin memerlukan perjuangan keras sampai harus direhabilitasi. Namun, lepas dari rokok 5 hingga 10 kali lipat lebih sulit dari narkoba.
"Ketika seseorang merokok, nikotin akan terserap dalam darah dan diteruskan ke otak. Kemudian,reseptor alpha 4-Beta 2 yang menerima nikotin dalam otak akan memicu pelepasan hormon dopamin yang memberi rasa aman," ungkapnya, saat berbicara dalam acara "Break Free" Semangat Bebaskan Diri Dari Jeratan Adiksi Nikotin, di Jakarta, Rabu, (26/5).
Ketika kadar hormon berkurang, maka orang akan kembali merokok. "Inilah yang membuat seseorang ketagihan rokok dan rasa ketagihan itu sulit dihilangkan lantaran faktor dopamin," tegasnya.
Efek ketagihan ini, lanjut Aulia menjelaskan, mengakibatkan efek psikoaktif 5-10 kali lebih banyak ketimbang kokain dan morfin dan jauh lebih mudah memperoleh rokok jauh dibanding narkoba.
Yang tak kalah berbahaya, ketagihan tidak hanya menimpa perokok aktif. Perokok pasif juga bisa mengalami hal yang sama. Hanya saja, tingkat ketagihan tidak separah efek ketagihan perokok aktif.
"Perokok pasif juga bisa mengalami ketergantungan, dan efek pada perokok pasif ini jauh lebih berbahaya karena menghirup pembakaran zat lain," tukas pakar kejiwaan, Triwibowo T Ginting.
Menurutnya, kadar nikotin yang dihirup perokok pasif tercampur pula dengan pembakaran zat lain. Akibatnya, nikotin yang masuk ke dalam reseptor alpha 4 beta-2 mempengaruhi keingan mengirup kembali asap rokok. "Sekali lagi, itu tidak berbahaya ketimbang perokok aktif. Namun, sebaiknya menjauhi asap rokok," tukasnya.
Seandainya, individu sudah ketagihan. Sebaiknya yang bersangkutan mengikuti program menghilangkan ketergantungan nikotin. Program yang dimaksud tentu jauh lebih ringan ketimbang perokok pasif. Penangan yang diberikan lebih kepada pemberian informasi tentang bahaya rokok, motivasi dan solusi menghadapi ruangan berasap rokok.
Butuh Pendamping
Dalam kesempatan yang sama, Triwibowo T Ginting juga memaparkan saat ini terdapat 70 persen perokok ingin berhenti, tetapi hanya 5-10 persen yang dapat berhenti tanpa bantuan orang lain.
Ia menyebut, perokok selalu memiliki banyak alasan untuk mempertahankan kebiasaan merokoknya sekalipun ingin berhenti."Motivasi kuat dari perokok itu sendiri untuk berani berhenti dan motivasi dukungan juga diperlukan dari lingkungan sekitar perokok tersebut," tukasnya.
Tribowo menuturkan, untuk menumbuhkan motivasi berhenti merokok dapar dilakukan dengan cara menceritakan dampak-dampak negatif merokok baik dari segi kesehatan maupun dampak ekonomi dan sosial. "Cerita itu harus diulangi secara terus menerus sehingga perokok ragu untuk merokok," singkatnya.
Namun, kata dia, hal utama yang harus dipenuhi adalah kepercayaan kepada perokok ketika berniat untuk berhenti. Sayangnya, sebagian masyarakat cenderung acuh dan tidak menghargai perokok untuk berhenti. Padahal melalui kepercayaan ini dapat menumbuhkan sikap percaya diri perokok untuk mulai berhenti.
Usai memberikan kepercayaan kepada perokok, ia menyarankan kepada setiap anggota keluarga atau lingkungannya untuk menghabiskan waktu bersama guna menghilangkan keinginan merokok.
"Habiskan waktu dengan kegiatan positif seperti menonton film bersama, atau berolahraga. Keluarga juga dapat membantu seperti mengalihkan keinginan melalui permen atau buah-buahan," sarannya.
Setelah itu, kata Triwibowo, yakinkan para perokok bahwa mereka sanggup mengubah gaya hidup jauh lebih sehat.