REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sudah menjadi fitrah manusia saling berpasang-pasangan. Pertanyaanya, sejauh mana manusia memahami esensi dari hubungan dengan pasangnya. Undang-undang pernikahan secara gamblang dan jelas memberikan panduan tata cara pernikahan yang sah di mata hukum negara. Namun, undang-undang pernikahan tidak memberikan penjelasan secara praktis tentang bagaimana hubungan antar dua individu yang berbeda membentuk satu pemikiran, satu visi dan satu tujuan yang terlingkup dalam satu atap.
Pendidikan tentang tata cara menjalani hubungan sosial sebagai pasangan tidak secara formal dipelajari. Budaya dan tradisi menjadi pengganti pendidikan formal yang sebatas memberikan arahan pada satu individu tapi tidak ketika dua individu menjadi satu bentuk yang utuh. Tak heran, banyaknya sumber tata cara menjalani hubungan berasal dari warisan leluhur, kebudayaan yang dianut masyarakat dan sokongan agama berada ditengahnya.
Konsekuensi rujukan yang berasal dari kebudayaan dan tradisi menyebabkan adanya jeda masa. Jeda ini yang menyebabkan adanya gap antara tradisi nenek moyang dan tata cara kehidupan modern. Akibat dari tidak tersambungnya suatu masa yang lalu dengan pola kekinian menyebabkan adanya salah kaprah yang pada akhirnya berkembang menjadi persoalan mind set. Singkat cerita, pola kekinian yang ditunjang teknologi dan peradaban yang jauh lebih maju melihat tata cara lama-lah yang harus direvisi.
Masyarakat modern banyak mengadopsi pola kekinian yang bersumber dari berbagai medium seperti film, televisi, majalah, keluarga dan teman. Dalam buku karangan Herri Oucbuch, seperti dikutip dari The Hufington Post, Senin (1/11), menuturkan setiap individu harus mempelajari hubungan sosial dan pasanganya. Guna membentuk hubungan yang harmonis adalah coba melihat fakta bukan mitos. Berikut empat mitos yang sejatinya berada dalam pemikiran individu yang berencana dan telah berkeluarga,
Mitos pertama, Pasangan haruslah seorang yang sangat menarik hingga pada akhirnya dapat langgeng selamanya.
Faktanya, dalam riset Herry mencatat persamaan merupakan kunci penting bagi kelanggengan sebuah hubungan. Pasangan mungkin saja memiliki perbedaan dalam hal selera musik, atau latar belakang yang berbeda, namun, sang pencipta memberikan anugerah berupa kemampuan berkomunikasi pada manusia. Dengan berkomunikasi perbedaan-perbedaan yang ada bisa ditengahi dengan solusi yang melibatkan dua pemikiran dan berujung satu putusan yang mengakomodir dua pihak.
Mitos kedua, hubungan yang harmonis adalah sebuah hubungan yang tidak pernah ternodai oleh konflik.
Faktanya, manusia adalah makhluk dinamis bukan statis. Setiap individu acap kali bergesekan kepentingan bahkan dengan pasangannya sendiri. Konflik membuat jalur komunikasi dua indiviud yang berbeda tahu keinginan masing-masing. Konflik pula yang pada akhirnya membuka solusi untuk membina hubungan yang lebih harmonis di masa mendatang.
Mitos ketiga, pasanganya yang hidup terpisah bakal langgeng selamanya.
Faktanya, interdependesi manusia seperti sosial, emosional dan finansial tercipta untuk setiap pasangnya. Indepedensi diri mutlak diperlukan, akan tetapi manusia pada dasarnya makhluk sosial. Makhluk yang secara hierakhi membutuhkan manusia lain untuk menunjang kehidupannya. Contoh sederhananya, tidaklah mungkin tukang cukur mencukur dirinya sendiri. Tukang cukur juga membutuhkan koleganya sesama tukang cukur untuk merapihkan rambutnya.
Mitos keempat, menjadi bahagia, pasangan harus berbicara tentang tantangan dan masalah.
Faktanya, baik pria dan wanita memiliki tingkat toleransi yang berbeda. Kedua pasangan harus berbagi dan mengungkapkan secara seimbangan keprihatinan dan kebahagiaan.