REPUBLIKA.CO.ID, CIKARANG--Persoalan gizi buruk yang menggerogoti kesehatan masyarakat Indonesia mulai menemui titik terang. Pemerintah pusat bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Japan Fund for Poverty Reduction tengah menjalankan proyek fortifikasi zat besi ke dalam beras khusus keluarga miskin (gakin). Diharapkan melalui proyek ini, efek dari gizi buruk seperti anemia dapat ditanggulangi.
Suroso Natakusuma, Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia mengaku optimis pelaksanaan fortifikasi beras mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap perbaikan gizi sekaligus menanggulangi masalah anemia yang cukup banyak diderita masyarakat indonesia yang terkategori miskin. "Selama ini, pemerintah hanya sebatas memberikan beras tanpa memperhatikan kelengkapan gizi," kata dia kepada republika.co.id, di sela peluncuran Pilot Project Fortifikasi Beras bagi Keluarga Miskin di Cikarang, Kamis (2/12).
Suroso yang juga terlibat dalam proyek serupa namun berbasis minyak goreng di Ujung Pandang menilai pemilihan beras sebagai bahan pangan fortifikasi memiliki sasaran yang boleh dibilang mengakar rumput. Pasalnya, dengan pasokan beras miskin (raskin) yang mencapai 3.7 juta jiwa, sasaran pemerintah untuk memperbaiki kesehataan dan kesejahteraan masyarakat cukup mengena. Dahulu, kata Suroso, pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan pemberian suplemen. Nyatanya program itu terbilang mahal dan pada akhirnya terhenti. "Fortifikasi tidaklah membebani pemerintah terlalu besar lantaran pengeluaran biaya terhitung efisien," paparnya.
Secara teknis, Surono menjelaskan, fortifikasi beras dengan zat besi adalah usaha untuk menaikan mutu kandungan beras dengan mencampurkan beras yang sudah diproses dengan zat besi (ferrum) dengan memanfaatkan teknologi fortifikasi. Teknologi itu memungkinkan beras dihancurkan yang kemudian berwujud tepung beras. Dengan teknik hot ekstrusion, tepung beras digabungkan dengan zat besi (ferrum). Pengabungan itu dicetak kembali layaknya bentuk beras asli. Beras hasil pengabungan inilah yang disebut premix.
Premix kemudian dicampurkan dengan raskin dengan perbandingkan 1 : 200. Artinya, satu kilogram beras dicampurkan dengan 200 kilogram raskin. "Pencampuran itu nantinya akan dilakukan pabrik-pabrik yang selanjutnya diserahkan kepada Bulog untuk disebarkan kepada masyarakat yang berhak," kata dia. Untuk sementara, permix yang digunakan sebagai bahan pecampur terlebih dahulu diimpor dari negara lain sebelum diproduksi sendiri di Indonesia. "Nah, disinilah pentingnya pilot project. Melalui proyek awal, pemerintah melalui kelembagaan dan instasi pemerintah berikut pemerintah daerah bisa mengetahui teknologi apa yang sekiranya cocok dan sesuai dengan kondisi raskin." papar dia.
Ke depan, kata Suroso, bila pilot project ini berhasil maka dimungkinkan sekali fortifikasi sumber pangan lain yang bisa dikembangkan pemerintah. Termasuk kemungkinan fortifikasi pangan lain seperti sagu, atau sumber pangan lain diluar beras. "Saat ini mungkin baru beras mengingat tingkat konsumsi beras nasional terbilang tinggi. Akantetapi tidak menutup kemungkinan fortifikasi bisa menjangkau kawasan Indonesia timur yang memiliki pangan pokok diluar beras," ujarnya.
Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, Bappenas, Nina Serdjuani menilai kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Japan Fund for Poverty Reduction dalam proyek hibah fortifikasi beras dengan zat besi menjadi awal yang baik guna menjalankan amanat undang-undang pangan yang mengharuskan pemeirntah untuk menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi bagi perbaikan status gizi masyarakat.