REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Bakteri Enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) yang mewabah di Eropa hingga kini belum diketahui berasal dari mana, namun diduga berasal dari pupuk organik, pupuk berbahan dasar kotoran hewan. "Ini baru dugaan. Dari jurnal-jurnal ilmiah mereka masih terus mencari-cari asal-muasalnya," kata Peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Dr Puspita Lisdiyanti, pada "Desiminasi dan Workshop Hasil Kerja sama Penelitian LIPI dan Institusi Riset di Jepang" di Jakarta, Rabu.
Pupuk organik, ujarnya, memang semakin diminati di Eropa, seiring dengan gaya hidup kembali ke alam "back to nature", namun kotoran hewan mengandung banyak bakteri escherichia coli (e. coli) yang perlu diwaspadai.
Menurut dia, masyarakat Eropa memiliki standar yang ketat dalam produksi pupuk organik, tapi bisa jadi karena para petani Eropa masing-masing membuat sendiri pupuk organiknya. "Mungkin saja mereka lalai karena ingin mempercepat hasilnya, jadi proses pembusukannya belum sempurna," kata pakar mikroba ini.
Hanya saja Bakteri E.Coli varian baru ini tidak sekedar menyebabkan gangguan pencernaan, tapi bisa mematikan dalam kondisi yang disebut dengan haemolytic uraemic syndrome (HUS) yang ditandai dengan kegagalan ginjal akut, anemia dan kekurangan trombosit.
Lebih parah lagi bakteri varian baru ini kebal terhadap antibiotika sehingga tidak mudah diobati, diduga karena terlalu berlebihan dalam penggunaan berbagai jenis antibiotika dan membuat bakteri ini menjadi resisten. "Bakteri memiliki hanya sekitar empat mega base pair DNA sehingga lebih mudah bermutasi gen," katanya.
Orang Indonesia, menurut dia, tetap perlu waspada, meskipun sudah biasa dengan jumlah mikroflora dan bakteri e. coli yang tinggi di perutnya, jauh lebih banyak dibanding perut orang Eropa yang perilakunya sangat higienis. E. coli, ujar Puspita, dalam siklus berguna bagi pembusukan makanan (fermentasi gula) karena itu ada di mana-mana termasuk di sistem pencernaan manusia, namun jumlahnya masih bisa diatasi oleh adanya mikroba lain yang menyeimbangkan.